Laman

Tekad dan Komitmen adalah Kunci Mencapai Keberhasilan...

Jumat, 06 April 2012

PENGANTAR HUKUM LINGKUNGAN

HUKUM LINGKUNGAN
  1. sejarah
pemikiran untuk mengkaji dan mengembangkan masalah lingkungan hidup di Indonesia untuk pertama kali di mulai pada tahun 1972 . ketika prof. Dr. mochtar atmadja . SH.LLM menyampaikan beberapa pikiran dan saranya tentang bagaimana peratuaran hokum lingkungan tersebut . setelah berlakunya UU lingkungan hidup p`da tgl 11-03-1982 , terciptanya suatu system yang memayungi semua peraturan P’UU-an
  1. pengertian
keseluruhan poeratuaran yang mengatur tingkah laku manusia tentang apa seharusnya di lakukan atau tidak terhadap lingkungan hidup
  1. asas, tujuan &sasaran hokum lingkungan
  1. terciptanya keselarasan hubungan sntar manusia dengan lingkungan hidup
  2. terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secvara bijaksana
  3. terwujudnya manusia Indonesia sebagai Pembina lingkungan hidup
  4. terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang &mendatang
  5. terlindungnya Negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan kerusakan & pencemaran lingkungan
D. PERAN SERTA MASYARAKAT :
SUATU TINJAUAN
Suatu proses yang melibatkan masyarakat umum, dikenal sebagai peran serta masyarakat. Yaitu proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang berwenang (Canter, 1977). Secara sederhana Canter mendefinisikan sebagai feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu).
Dari sudut terminologi peran serta msyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Bahsan yang lebih khusus lagi, peran serta masyarakat sesungguhnya merupakan suatu cara untuk membahas incentive material yang mereka butuhkan (Goulet, 1989). Dengan perkataan lain, peran serta masyarakat merupakan insentif moral sebagai "paspor" mereka untuk mempengaruhi lingkup-makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-keputusan yang sangat menetukan kesejahteraan mereka.
Cormick (1979) membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Dalam peran serta masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu, dimana keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan tersebut. Sedang dalam konteks peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah danmembahas keputusan.
Ternyata masih banyakyang memandang peran serta masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi (public information), penyuluhan, bahkan sekedar alat public relation agar proyek tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Karenanya, peran serta masyarakat tidak saja digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan sebagai tujuan (participation is an end itself).
Disamping persepsi yang dikemukakan Canter (1977), Cormick (1979), Goulet (1989) dan Wingert (1979) merinci peran serta masyarakat sebagai berukut :
1. Peran Serta Msyarakat sebagai suatu Kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan (right to be consulted).
2. Peran Serta Masyarakat sebagai Strategi
Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakt (ppublic support). Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memiliki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada pada tiap tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas.
3. Peran Serta Masyarakat sebagai Alat Komunikasi
Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
4. Peran Serta Masyarakat sebagai Alat Penyelesaian Sengketa
Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat menigkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan (biasess).
5. Peran Sera Masyarakat sebagai Terapi
Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk "mengobati" masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidak berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.
Dari sudut teori politik, terdapat dua paham teori : teori Participatory Democracy, yang menggugat paham teori Elite Democracy (Gibson, 1981). Paham Elite Democracy melihat hakekat manusia sebagai mahluk yang mementingkan diri sendiri, pemburu kepuasan diri pribadi dan menjadi tidak rasional terutama jika mereka dalam kelompok. Oleh karena itu, dalam hal terjadi konflik kepentingan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, maka pembuatan keputusan sepenuhnya merupakan kewenangan dari kelompok elite yang menjalankan pemerintahan. Kalaupun peran serta masyarakat itu ada, pelaksanaannya hanya terjadi pada saat pemilihan mereka-mereka yang duduk dalam pemerintahan.
Paham Participatory Democracy sebaliknya berpendapat bahwa manusia pada hakekatnya mampu menyelaraskan lepentingan pribadi dengan kepentingan sosial. Penyelarasan kedua macam kepentingan tersebut dapat terwujud jika proses pengambilan keputusan menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk mengungkapkan kepentingan dan pandangan mereka. Proses pengambilan keputusan, yang menyediakan kelompok kepentingan untuk berperan serta didalamnya, dapat mengantarkan kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan mereka satu sama lain. Dengan demikian, perbedaan kepentingan dapat dijembatani.
A. Tingkatan dalam Peran Serta Masyarakat
Dari sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, terdapat tingkatannya sendiri-sendiri.
Arnstein (1969) menformulasikan peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat (citizen partisipation is citizen power). Dimana terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) yang sekarang dikucilkan dari proses politik dan ekonomi untuk terlibat kelak. Singkat kata, peran serta masyarakat - menurut Arnstein - adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Lewat typologinya yang dikenal dengan Delapan Tangga Peran Serta Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation), Arnstein menjabarkan peran serta masyarakat yang didasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Arnstein juga menekankanbahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk peran serta yang bersifat upacara semu (empty ritual) dengan betuk peran serta yang mempunyai kekuatan nyata (real power) yang diperlukan untuk mempngaruhi hasil akhir dari suatu proses.
Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai "non peran serta", dengan menempatkan bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan
(1) terapi dan (2) manipulasi. Sasaran dari kedua bentuk ini adalah untuk "mendidik" dan "mengobati" masyarakt yang berperan serta.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat "Tokenisme" yaitu suatu tingkat peran serta dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak boleh memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Menurut Arnstein, jika peran serta hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Termasuk dalam tingkat "Tokenisme" adalah (3) penyampaian informasi (informing); (4) konsultasi; dan (5) peredaman kemarahan (placation).
Selanjutnya Arnstein mengkategorikan tiga tangga teratas kedalam tingkat "kekuasaan masyarakat" (citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan (6) kemitraan (partnership) dengan memiliki kemampuan tawar-menawar bersama-sama pengusaha atau pada tingkatan yang lebih tinggi (7) pemdelegasian kekuasaan (delegated power) dan (8) pengawasan masyarakat (citizen control). Pad tingkat ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non elite) memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu.
Delapan tangga peran serta dari Arnstein ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa terdapat potensi yang sangat besar untuk memanipulasi programperan serta masyarakat menjadi suatu cara yang mengelabui (devious method) dan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keptusan.
B. Kegunaan Peran Serta Masyarakat
Tujuan dari peran serta masyarakat sejak tahap perencanaan adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan lingkungan (Canter, 1977). Karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak kegiatan dan kelompok kepentingan (interest groups), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut dan menuangkannya ke dalam konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang positif dari berbagai faktor.
Sejak proses peran serta masyarakat haruslah terbuka untuk umum, peran serta masyarakat akan mempengaruhi kredibilitas (accountability) badan yang bersangkutan. Dengan cara mendokumentasikan perbuatan keputusan badan negara ini, sehingga mampu menyediakan sarana yang memuaskan jika masyarakat dan bahkan pengadilan merasa perlu melakukan pemeriksaan atas pertimbangan yang telah diambil ketika membuat keputusan tersebut. Yang pada akhirnya akan dapat memaksa adanya tanggung jawab dari badan negara tersebut atas kegiatan yang dilakukannya.
Perlunya peran serta msyarakat telah pula diungkapkan oleh Prof.Koesnadi Hardjasoemantri (1990) bahwa selain itu memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, peran serta masyarakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, peran serta masyarakat akan membantu perlindungan hukum. Bila suatu keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan, maka akan memperkecil kemungkinan pengajuan perkara ke pengadilan. Karena masih ada alternatif pemecahan yang dapat diambil sebelum sampai pada keputusan akhir.
Terhadap hal di atas, Hardjasoemantri melihat perlu dipenuhinya syarat-syarat berikut agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna (1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya. (2) Informasi Lintas-batas (transfortier information); mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan pula mempengaruhi propinsi atau negara tetangga. Sehingga pertukaran informasi dan pengawasan yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi penting; (3) Informasi tepat waktu (timely information); suatu proses peran serta masyarakat yang efektif memerlukan informasi yang sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan terakhir diambil. Sehingga, masih ada kesempatan untuk memeprtimbangkan dan mengusulkan altenatif-alternatif pilihan; (4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh(comprehensive information); walau isi dari suatu informasi akan berbeda tergantumg keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan, tetapi pada intinya informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegitana secara rinci termasuk alternatif-alternatif lain yang dapat diambil (5) Informasi yang dapat dipahami (comprehensive information); seringkali pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat awam. Metode yang sering digunakan adalah kewajiban untuk membuat uraian singkat atas kegiatan yang dilakukan.
Syarat lain yang dapat ditambahkan selain yang telah diuraikan diatas, adalah keharusan adanya kepastian dan upaya terus-menerus untuk memasok informasi agar penerima informasi dapat menghasilkan informasi yang berguna bagi pemberi informasi.
Mas Achmad Santosa (1990) dalam thesisnya telah pula merangkum kegunaan peran serta masyarakat. Walau ini tentu saja tidak dimaksudkan sebagai daftar yang ajeg.
(1) Menuju masyarakat yang lebih bertanggung jawab;
Kesempatan untuk berperan serta dalam kegiatan publik, akan memaksa orang yang bersangkutan untuk membuka cakrawala pikirannya dan mempertimbangkan kepentingan publik (Mill 1990). Sehingga orang tersebut tidak semata-mata memikirkan kepentingannya sendiri, tetapi akan lebih memiliki sifat bertanggung jawab dengan mempertimbangkan kepentingan bersama.
(2) Meningkatkan proses belajar;
Pengalaman berperan serta secara psikologis akan memberikan seseorang kepercayaan yang lebih baik untuk berperan serta lebih jauh.
(3) Mengeliminir perasaan terasing;
Dengan turut aktifnya berperan serta dalam suatu kegiatan, seseorang tidak akan merasa terasing. Karena dengan berperan serta akan meningkatkan perasaan dalam seseorang bahwa ia merupakan bagian dari masyarakat.
(4) Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana pemerintah;
Ketika seseorang langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya, mereka cenderung akan mempunyai kepercayaan dan menerima hasil akhir dari keputusan itu. Jadi, program peran serta masyarakat menambah legitimasi dan kredibilitas dari proses perencanaan kebijakan publik. Serta menambah kepercayaan publik atas proses politik yang dijalankan para pengambil keputusan.
(5) Menciptakan kesadaran politik;
John Stuart Mill (1963) berpendapat bahwa peran serta pada tingkat lokal, dimana pendidikan nyata dari peran serta terjadi, seseorang akan "belajar demokrasi". Ia mencatat bahwa orang tidaklah belajar membaca atau menulis dengan kata-kata semata, tetapi dengan melakukannya. Jadi, hanya dengan terus berpraktek pemerintahan dalam skala kecil akan membuat masyarakat belajar bagaimana mempraktekkannya dalam lingkup yang lebih besar lagi.
(6) Keputusan dari hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat;
Menurut Verba dan Nie (1972) bahw amelalui peran serta masyarakat distribusi yang lebih adil atas keuntungan pembangunan akan didapat, karena rentang kepentingan yang luas tercakup dalam proses pengambilan keputusan.
(7) Menjadi sumber dari informasi yang berguna;
Masyarakat sekitar, dalam keadaan tertentu akan menjadi "pakar" yang baik karena belajar dari pengalaman atau karena pengetahuan yang didapatnya dari kegiatan sehari-hari. Keunikan dari peran serta adalah masyarakat dapat mewakili pengetahuan lokal yang berharga yang belum tentu dimiliki oleh pakar lainnya, sehingga pengetahuan itu haruslah termuat dalam proses pembuatan keputusan.
(8) Merupakan komitmen sistem demokrasi;
Program peran serta msyarakat membuka kemungkinan meningkatnya akses masyarakat ke dalam proses pembuatan keputusan (Devitt, 1974).
E.WEWENANG DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN
1. Pemerintah Kewenangan Pusat dan daerah dalam UU No 22 tahun 1999.
Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tentang Otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat dicermati dalam pasal 7 UU NO 22 tahun 1999, yaitu:
(1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar.
2. Penjelasan Kewenangan dalam Sistem Pemerintahan setelah UU No 22 tahun 1999
Untuk mengantisipasi berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tim kerja Menko Wasbangpan dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal telah mencoba merumuskan interpretasi kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.
Secara umum, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi :
· Kewenangan Pusat
· Kewenangan Propinsi
· Kewenangan Kabupaten/Kota.
Kewenangan Pusat terdiri dari kebijakan tentang :
· Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;
· Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;
· Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
· Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;
· Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;
· Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;
· Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;
· Standarisasi nasional;
· Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.
Kewenangan Propinsi terdiri dari :
· Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota;
· Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi dan sebagainya.
· Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di luar kewenangan pusat.
Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari :
· Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup;
· Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup;
· Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan;
· Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi lahan dsb.
· Penegakan hukum lingkungan hidup
· Pengembangan SDM pengelolaan lingkungan hidup.
3. Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah Pusat dalam melakukan kewenangannya di bidang pengelolaan lingkungan hidup harus mengikuti kebijakan yang telah diterapkan oleh Menko Wasbangpan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jangan sampai pengurangan kewenangan pemerintah Pusat di bidang lingkungan hidup tidak bisa mencegah kesalahan pengelolaan lingkungan hidup demi mengejar Pemasukan APBD khususnya dalam pos Pendapatan Asli Daerah.

Pengantar Hukum Pidana

PENDAHULUAN

Pengertian hukum pidana
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
  1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan (yang dilarang) dengan disertai ancaman/sanksi berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut.
  2. menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
  3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang telah disangka melanggar larangan tersebut. (Mulyatno)
Dalam arti bekerjanya, hukum pidana dibedakan:
  1. hukum pidana objektif (ius poenale) yang meliputi hukum pidana materiel (peraturan tentang syarat bilamanakah, siapakah, dan bagaimanakah sesuatu itu dapat dipidana), serta hukum pidana formil (hukum acara pidana: hukum yang mengatur tentang cara hukum pidana materiel dapat dilaksanakan). Dalam pembelajaran hukum, kita dihadapkan pada anggapan-anggapan yang mengikat perbuatan sesorang dalam masyarakat. Anggapan-anggapan itu memberi petunjuk sesorang bagaimana ia harus berbuat atau tidak berbuat. Anggapan-anggapan itu disebut norma atau kaidah. Norma mengandung apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan. Di belakang norma ada nilai (value) yang diartikan sebagai ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat untuk menetapkan apa yang benar atau yang baik. Tiap masyakarat menghendaki agar norma itu dipatuhi (das sollen), walaupun dalam kenyataannya tidak semua orang mematuhinya (das sein). Agar norma itu dipatuhi, maka masyakarat mengenakan sanksi, baik sanksi positif maupun sanksi negatif. Salah satu bentuk norma adalah norma hukum. Norma hukum mempunyai ciri dapat dipaksakan berlakunya. Norma hukum itu kemudian dirumuskan dalam bentuk peraturan hukum, yang meliputi hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap pasal dalam peraturan hukum itu didasari adanya suatu norma dan nilai yang ada di masyarakat. Bagaimanakah norma dan nilai yang mendasari Pasal 338 KUHP?
  2. hukum pidana subjektif (ius puniendi) yaitu hukum yang memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan putusan, dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. (Bambang Poernomo) Dalam redaksi yang lain Sudarto menjelaskan bahwa hukum pidana objektif (ius poenale) adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yag berupa pidana. Sedangkan hukum pidana subjektif (ius peniendi) adalah hak dari negara atau alat-alat perlengkapannya untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perhadap perbuatan tertentu. Kedudukan Hukum Pidana dalam Tata Hukum Indonesia Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan aturan hukum di Indonesia. Di samping hukum pidana, terdapat aturan-aturan hukum yang lain, seperti hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum tata negara, dan lain-lain. Hukum pidana termasuk dalam golongan hukum publik, karena mengatur tentang hubungan antara negara dengan perseorangan. Fungsi Hukum Pidana Menurut Sudarto, fungsi umum hukum pidana adalah untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sedangkan fungsi khusus hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak merusaknya. Dengan demikian hukum pidana itu menanggulangi perbuatan jahat yang hendak merusak kepentingan hukum seseorang, masyarakat, atau negara. Pidana berarti nestapa atau penderitaan. Jadi, hukum pidana merupakan hukum yang memberikan sanksi berupa penderitaan atau kenestapaan bagi orang yang melanggarnya. Karena sifat sanksinya yang memberikan penderitaan inilah hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum remidium atau obat yang terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya hukum lain tidak mampu menanggulangi perbuatan yang merugikan. Dalam pengenaan sanksi hukum pidana terdapat hal yang tragis sehingga hukum pidana dikatakan sebagai “pedang bermata dua”. Maksudnya, satu sisi hukum pidana melindungi kepentingan hukum (korban) namun dalam sisi yang lain, pelaksanaannya justru melakukan penderitaan terhadap kepentingan hukum (pelaku).
Tujuan Hukum Pidana
Sebagaimana dinyatakan oleh Tirtaamidjaja, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat. Tujuan ini merupakan tujuan umum, yang jika dijabarkan lebih lanjut terdapat aliran yang berbeda.
  • Aliran klasik berpendapat bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Aliran ini muncul pertama kali saat hukum pidana modern dikenal dan dipengaruhi oleh sejarah Revolusi Perancis. Kasus Jean Calas te Toulouse yang dipidana mati karena dituduh membunuh anaknya sendiri, Mauriac Antoine Calas, menjadi dasar bagi Beccaria, JJ Rousseau, dan Montesquieu berpendapat agar kekuasaan raja dibatasi oleh hukum (pidana) tertulis.
  • Aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Aliran modern ini mendapat pengaruh dari ilmu kriminologi.
Sumber-sumber Hukum Pidana Indonesia
Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang aslinya berbahasa Belanda (Wetboek van Strafrecht). Dapat dikatakan bahwa KUHP adalah hukum pidana umum karena berlaku bagi setiap orang. Di samping hukum pidana umum, terdapat hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang mengatur golongan-golongan tertentu atau terkait dengan
jenis-jenis tindak pidana tertentu. Sumber hukum pidana khusus di Indonesia di antaranya KUHP Militer, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur pidana di luar KUHP seperti UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15/2002 jo. UU No. 25/2003), UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), UU Tindak Pidana Psikotropika (UU No. 5/1997), UU Tindak Pidana
Narkotika (UU No. 22/1997), dan lain-lain. Gambaran hukum pidana Indonesia:
  1. Buku I KUHP Aturan Umum Pasal 1-103, Bab 1-9
  2. Buku II KUHP Kejahatan Pasal 104 - 488
  3. Buku III KUHP Pelanggaran Pasal 489 - 569
Hukum Pidana Khusus (Aturan Pidana dalam UU di luar KUHP)
UU Narkotika, UU Psikotropika,
UU Terorisme, UU HAM, UU
KDRT, UU Pencucian Uang, dll
berlaku bagi berlaku bagi berlaku bagi
(kecuali ditentukan lain)

Hukum Perdata

1. PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.


2. SEJARAH KUH PERDATA (BW)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK).

Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia.
Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut.


3. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DALAM KUH PERDATA (BW)
 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) Indonesia terdiri dari empat buku sebagai berikut :
1. Buku I, yang berjudul ”perihal orang” (van persoonen), memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
2. Buku II, yang berjudul ”perihal benda” (van zaken), memuat hukum benda dan hukum waris.
3. Buku III, yang berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen), memuat hukum harta kekayaan yang       berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4. Buku IV, yang berjudul ”perihal pembuktian dan kadaluarsa” (van bewijs en verjaring), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.


4. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT ILMU PENGETAHUAN
Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1. Hukum tentang orang atau hukum perorangan (persoonenrecht) yang antara lain mengatur tentang :
    a. Orang sebagai subjek hukum.
    b. Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk
        melaksanakan hak-haknya itu.
2. Hukum kekeluargaan atau hukum keluarga (familierecht) yang memuat antara lain :
    a. Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul didalamnya seperti
        hukum harta kekayaan suami dan istri.
    b. Hubungan hukum antara orangtua dan anak-anaknya atau kekuasaan orang tua (ouderlijke macht).
    c. Perwalian (voogdij).
    d. Pengampunan (curatele).
3. Hukum kekayaan atau hukum harta jekayaan (vermogensrecht) yang mengatur tentang
    hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi :
    a. Hak mutlak ialah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang.
    b. Hak perorangan adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
4. Hukum waris (erfrecht) mengatur tentang benda atau kakayaan seseorang jika ia meninggal dunia
    (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang).

MATERI KULIAH PENGANTAR EKONOMI PEMBANGUNAN


KONSEP EKONOMI PEMBANGUNAN

EKONOMI PEMBANGUNAN
Suatu cabang ilmu ekonomi yang menganalisis masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut supaya negara-negara berkembang dapat membangun ekonominya dengan lebih cepat lagi.

PEMBANGUNAN EKONOMI
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya, atau
Suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang

PERHATIAN TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI