Kebijakan kriminalisasi merupakan menetapkan
perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam
aturan perundang-undangan. Pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan
bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan oleh
karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana.[1]
Dalam rangka menanggulangi kejahatan diperlukakan berbagai sarana sebagai
reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan berupa pidana. Karena,
pidana masih dianggap relevan untuk menanggulangi kejahatan, meski masih banyak
reaksi lain yang berupa non-pidana dalam menanggulangi kejahatan. Pidana
sebagai sarana pengendalian kejahatan diperlukan adanya konsepsi politik dalam
hukum pidana yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk
masa-masa yang akan datang.[2]
Konsepsi politik hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, disamping melalui
pembuatan produk hukum berupa pembuatan undang-undang hukum
pidana tidak lepas
juga dengan usaha menuju kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan sosial (social policy). Hal ini berarti
kebijakan untuk menanggulangi kejahatan
dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan
usaha-usaha lain yang bersifat non-penal.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal atau hukum pidana ialah masalah penentuan :
1. Perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi
apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan terhadap dua masalah sentral diatas tidak dapat dilepaskan
dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Ini
berarti pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan.[3]
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral diatas yang sering
disebut sebagai masalah kriminalisasi, harus memperhatikan hal-hal yang pada
intinya sebagai berikut :
1. Penggunaan
hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan
pancasila. Sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana untuk
menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan “perbuatan yang tidak di kehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugian materiil ataupun spiritual atau warga masyarakat.
3. Penggunaan
hukum pidana harus pula memperthitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost benefit principle)
4. Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).[4]
Kriminalisasi haruslah diwujudkan dalam bentuk
peraturan tertulis seperti perundang-undangan. Aturan perundang-undangan
tersebut harus tunduk pada asas-asas hukum dalam aturan perundang-undangan
dimana suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang yang lebih tinggi. Peraturan undang-undang pidana atau yang
mengandung pidana juga harus menggunakan asas legalitas. Asas legalitas
mengandung makna bahwa ketentuan dapat dipidananya suatu perbuatan harus
terjadi melalui undang-undang dalam arti formil. Tidak diperbolehkan
menciptakan sanksi pidana selain yang ditentukan oleh undang-undang dalam arti
formil. Syarat untuk menindak suatu perbuatan yang melanggar hukum harus dengan
adanya ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela
atau kejahatan dan memberikan suatu sanksi terhadapnya. Hal ini disebut
legalitas dari negara dalam hukum pidana. Konsep bahwa tindak pidana adalah
melanggar kepentingan negara sebagai representasi dari kepentingan publik pada
umumnya yang menjadikan dasar pemberian kewenangan negara untuk menentukan,
membuat peraturan, dan menghukum seseorang yang melanggar peraturan yang telah
dibuat oleh negara.