Laman

Tekad dan Komitmen adalah Kunci Mencapai Keberhasilan...

Selasa, 28 Februari 2012

Makalah Pengantar Ilmu Hukum



SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH) 
"SUNAN GIRI" MALANG


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dalam penulisan makalah ini sehingga berjalan dengan lancar. Makalah ini berjudul “PENGANTAR ILMU HUKUM”.
Semoga Ilmu dalam Makalah yang saya buat ini dapat bermanfaat bagi diri saya pribadi dan utamanya bagi pembaca. Demi kesempurnaan Makalah ini saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Dan kepada Bapak dosen yang mengajarkan mata kuliah ini saya ucapkan terima kasih.







Penulis







DAFTAR ISI

Kata pengantar .........................................................................................................................  i
Daftar isi ................................................................................  …………………………..........  ii

BAB I
Pendahuluan
A.     Latar belakang .............................................................................................................  1
B.     Rumusan masalah ........................................................................................................  1
C.     Tujuan  ..........................................................................................................................  1

BAB II
Pembahasan
A.     Pengertian Hukum dan pendapat Ahli ........................................................................  2
B.            Unsur-unsur, Sifat, dan Tujuan Hukum ...............................................................................  4
C.     Sumber-sumber Hukum ..............................................................................................  5
D.     Macam-macam Pembagian Hukum .........................     ………………………….........  7

BAB III
Penutup ...................................................................................................................................  8
Daftar pustaka .........................................................................................................................  9




 
BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebudayaan manusia mengalami perkembangan pula. Termasuk perkembangan Hukum. Peradaban yang semakin berkembang membuat kehidupan manusia sangat membutuhkan aturan yang dapat membatasi prilaku manusia sendiri yang telah banyak menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju.
Aturan atau hukum tersebut mengalami perubahan dan terus mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu, suatu negara hukum sangat perlu mengadakan pembangunan terutama di bidang hukum. Mengenai pembangunan hukum ini tidaklah mudah dilakukan. Hal ini disebabkan pembangunan hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan tertib hukum yang lain.
Demikin untuk mempermudah kita dalam memahami hukum yang satu dengan hukum yang lainnya, maka patutlah kita mempelajari Pengantar Ilmu Hukum segai pintu segalah hukum. Yang terjadi pada masa lampau sampai sekarang dari segalah bidang Hukum itu sendiri.

B.                 Rumusan Masalah
1.      Pengertian Hukum dan Pendapat Ahli
2.      Unsur, Sifat dan Tujuan Hukum
3.      Kesimpulan
C.                 Tujuan
1.      Agar dapat memahami Pendapat Para Ahli dan Pengertian Hukum
2.      Agar dapat memahami Unsur, Sifat dan Tujuan Hukum
3.      Memudahkan bacaan pada makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN

A.                 Pengertian Hukum dan pendapat Ahli

Mengenai apakah hukum itu, menjadi pertanyaan pertama setiap orang yang mulai mempelajari tentang hukum. Sebenarnya sangat sulit untuk memberikan definisi tentang hukum. Karena menurut Prof. Mr. Dr. L.J. Van Apeldoorn dalam bukunya berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht adalah tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut hukum itu. Hampir semua sarjana hukum memberikan pembatasan mengenai hukum yang berlainan.

Beberapa ahli seperti Aristoteles, Grotius, Hobbes, Philip S. James, dan Van Vollenhoven memberikan definisi hukum yang berbeda-beda. Misalnya menurut Immanuel Kant bahwa hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. Menurut Ultrecht, hukum adalah peraturan yang berisi perintah dan larangan yang mengatur masyarakat, sehingga harus dipatuhi. Menurut Kansil, hukum adalah peraturan hidup yang bersifat memaksa.

Kaidah atau norma hukum adalah peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat yang berasal dari hati sanubari manusia.
Macam-macam norma :
1.      Norma agama,
2.      Norma kesusilaan,
3.      Norma kesopanan,
4.      Norma hukum,


 Macam – macam kaidah :
1.      Kaidah Agama Mengatur Hub. Antara Manusia dengan Tuhan Yang menjadi Kepercayaannya, bisa berupa Larangan dan Anjuran Bagi Pemeluknya.
2.      Kaidah Kesusilaan bersumber Dari Hati Mengatur Hub.Manusia dalam Hidup sosial agar Manusia itu Bersusila Sesuai dengan Tingkah laku yg di inginkan Masyarakat.
3.      Kaidah Kesopanan Mengatur Hub. Manusia dengan Manusia agar tingkah laku manusia itu teratur dalam hub. Social di Masyarakat.
4.      Kaidah Hukum Berasal Dari Hukum Positif yg ada di suatu negara. Hokum ini bersifat Memaksa bagi Semua Individu yang tercakup dalam negara, dan hukum di kenalkan pada umum melalui sosialisasi terhadap Hukum itu.

Dan menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum yang menandai tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang mewujudkan kaidah-kaidah itu dalam masyarakat. Hukum sebagai kaidah atau aturan yang mengatur kehidupan masyarakat memiliki beberapa pengertian yang bersumber dari para ahli. Ada juga beberapa sarjana dari Indonesia yang memberikan rumusan tentang hukum itu. Diantaranya adalah :

S.M. Amin, S.H.
Dalam bukunya yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum”, bahwa hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.

M.H. Tirtaatmadjadja, S.H.
Dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perniagaan” bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu, akan merugikan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya

 
Teori-teori tentang tujuan hukum :
v     Teori etika/ etis, yaitu tujuan hukum semata-mata untuk mencapai keadilan.
v     Teori utilitas, yaitu hukum itu bertujuan untuk kemanfaatan/ faedah orang terbanyak dalam masyarakat.
v     Teori campuran, teori ini merupakan gabungan antara teori etis dengan teoriutilitas, yaitu tujuan hukum tidak hanya untuk keadilan semata, tetapi juga untuk kemanfaatan orang banyak.
v     Teori terakhir, yaitu tujuan hukum itu semestinya ditekankan kepada fungsi hukum yang menurutnya hanya untuk menjamin kepastian hukum.

B.           Unsur-unsur,  Sifat, dan Tujuan Hukum

Agar dapat mengetahui dan mengenal apakah hukum itu, sebelumnya harus dapat mengetahui ciri-ciri hukum, diantaranya adalah :

1. Adanya perintah dan/ atau larangan.
2. Perintah dan/ atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap orang. Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya.

Dari beberapa perumusan tentang hukum yang telah diberikan para Sarjana Hukum Indonesia, dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu :

1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan bermasyarakat.
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
5. Adanya proses untuk mewujudkan kaidah, dan asas yang tertulis/ tidak tertulis.

Dilihat dari unsur-unsurnya, maka sifat dari hukum adalah mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mau patuh mentaatinya. Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut.

Dengan demikian, tujuan hukum itu adalah menegakkan keadilan, membuat pedoman, dan bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan. Selain itu, dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan, dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

C.     Sumber-sumber Hukum

Yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dapat ditinjau dari segi material dan segi formal.
1. Sumber-sumber hukum material, dapat ditinjau dari berbagai sudut misalnya dari sudut  ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dsb.
2. Sumber-sumber hukum formal, antara lain adalah :
v     Undang-undang (statute)
v     Kebiasaan (costum)
v     Traktat (treaty)
v     Pendapat sarjana hukum (doktrin).

1.      Penemuan Hukum
Akibat perkembangan masyarakat, maka perkembangan hukum berjalan seiring sejalan. Hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum. Badan Legislatif menetapkan peraturan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksanaan hal-hal konkret diserahkan kepada hakim, sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif. Yang dilakukan hakim yaitu :
1) Konstruksi hukum. Misalnya pada pasal 1576 tentang jual beli “Koop Break Geen Huur”  2) Penafsiran hukum. Ada beberapa metode penafsiran, yaitu:
v     Penafsiran tata bahasa, yaitu penafsiran yang berdasarkan ketentuan UU yang berpedoman pada perkataan
v     Penafsiran sahih, yaitu penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang telah diberikan oleh pembentuk UU
v     Penafsiran historis, yaitu penafsiran yang berdasarkan sejarah hukum dan UU-nya
v     Penafsiran sistematis, yaitu penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu, maupun dengan UU yang lainnya
v     Penafsiran Nasional, yaitu penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku
v     Penafsiran teleologis, yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undan itu
v     Penafsiran ekstensif, yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu
v     Penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu
v     Penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada suatu peraturan hukumdengan memberi ibarat pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya
v     Penafsiran a contrario, yaitu suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.


 Macam-macam Pembagian Hukum
1. Menurut sumbernya :
a. Hukum undang-undang, 
b. Hukum adat,
c. Hukum traktat,
d. Hukum jurisprudensi,
2. Menurut bentuknya :
a. Hukum tertulis, 
b. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan),
3. Menurut tempat berlakunya :
a. Hukum nasional, 
b. Hukum internasional,
c. Hukum asing,
d. Hukum gereja,
4. Menurut waktu berlakunya :
a. Ius constitutum (hukum positif), 
b. Ius constituendum,
c. Hukum asasi (hukum alam),
5. Menurut cara mempertahankannya :
a. Hukum material, 
b. Hukum formal,
6. Menurut sifatnya :
a. Hukum yang memaksa, 
b. Hukum yang mengatur,
7.Menurut wujudnya :
a. Hukum obyektif, 
b. Hukum subyektif,
8.Menurut isinya :
a.  Hukum privat, 
b. Hukum publik,Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas:a). Hukum Tertulis (statute law, written law), b). Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law)




BAB III
PENUTUP

Dari uraian singkat materi mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum diatas, disimpulkan bahwa pengertian hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan menjaga ketertiban pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban tetap terpelihara. Yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan- aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.

Hukum memiliki ciri-ciri, unsur-unsur, sifat, dan tujuan hukum. Mazhab ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar bagi penemuan hukum, yang memiliki pengertian yang dijelaskan oleh para ahli hukum. Dari ciri-ciri hukum disebutkan bahwa sanksi terhadap pelanggaran hukum adalah tegas, maka dari itu setiap orang wajib mentaati hukum, agar senantiasa tercipta kehidupan yang aman dan damai.

 

 

Daftar Pustaka

Kansil, C.S.T. Drs. SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, BalaiPustaka, Jakarta 1989.

http://www.scribd.com/doc/21201842/Pengertian-Hukum-Menurut-Pakar
dan dari berbagai sumber



Makalah Pengantar Hukum Indonesia



SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH) 
"SUNAN GIRI" MALANG

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan Rahmat dan karuniah-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan makalah dengan judul “Kedudukan TAP MPR setelah digantikanya UU No 10 Tahun 2004 dengan UU No 12 Tahun 2011”. ini dengan baik. Makalah ini adalah tugas matakuliah Pengantar Hukum Indonesia oleh Bapak Malik.,SH.,MH selaku dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH)”Sunan Giri” Malang. Tempat dimana penulis melanjutkan jenjang pendidikan. Oleh jarena itu tugas ini sangan bermutu sebagai pemula seperti penulis untuk mengetahyi dan memahami sistem Hukum yang ada di Negara ini.
Dengan demikian makalah ini penulis buat, tentunya dengan besar harapan dapat bermanfaat bagi sifitas akademika khusnya terhadap saudara/i seperjuangan di STIH. Namun tidak menutup kemungkunan makalah ini masih jauh dari sempurnah, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis, tentunya untuk kepentingan proses peningkatan cakrawala berfikir kita bersama dalam memahami hakekat Hukum itu sendiri. Terimakasih.  

                                   &nbrp;                                                                                 Penulis




DAFTAR ISI

Kata Pengatar  ………………………………………………………………………………..  i
Daftar isi ……………………………………………………………………………………..  ii
BAB I: Pendahuluan ………………………………………………………………………… 1
A. :    Latar Belakang ……………………………………………...…………………… 1
B.     Rumusan Masalah  ……………………………………………………………....  1
C.     Tujuan …………………………………………………………………………...   1
BAB II: Pembahasan    ……………………………………………………………………….   2
A.     Alsan UU No 10 Tahun 2004 diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 …………  2
B.     Teori Perundang-Undangan Dan Judicial Review …………………...................   3
C.     Pengujian UU Terhadap TAP MPR ………………………………….................   5
BAB III: Penutup ……………………………………………………………………………   8
A.      Kesimpulan …………………………………………………………………….    8
Daftar Pustaka ……………………………………………………….………………….. 9                    




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Lata Belakang
Hukum dalam arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan perundang-undangan.1 Sebuah aturan merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut, akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh aturan tersebut.
UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Aat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi TAP MPR.
B.           Rumusan Masalah
1.      Adakah alasan utama mengapa UU No 10 Tahun 2004 digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
2.      Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial Revew dapat menjadi jamianan kedudukan TAP MPR ?
3.      Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR sesuai sistem sumber Hukum ?
C.           Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami Hal yang Dimaksud Rumusan Masalah di atas.




BAB II
PEMBAHASAN

A.                 Alsan UU No 10 Tahun 2004 diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011
Agar supaya terciptanya suatu negara hukum maka negara membuat suatu aturan baku tentang UU tata cara dan mekaisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia telah ada beberapa regulasi mengenai pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum, TAP MPR No. III/MPR/2000 dan disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Merasa aturan terdahulu belum lengkap, maka pada tanggal 12 Agustus 2011 pemerintah menetapkan UU No. 12 Tahun 2011 pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU No. 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni masuknya kembali TAP MPR dalam hierarki dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, Peraturan pemerintah, Perpres, Paerda Propinsi dan Perda Kabupaten.2 Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa TAP MPR yang dimaksud adalah TAP MPRS dan TAP MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, yaitu TAP MPRS dan MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Contoh TAP MPR yang masih berlaku antara lain adalah TAP MPR No. XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia dan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
UU merupakan sebuah produk politik, berarti sangat sarat dengan muatan kepentingan dan ada kemungkinan sebuah UU akan bertentangan dengan konstitusi atau UUD,3 ataupun sebuah peraturan yang ada di bawah UU bisa saja bertentangan dengan UU. Berpijak dari alasa tersebut, untuk check and balances diperlukan sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusional sebuah UU ataupun Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di bawah UU terhadap UU. Pengujian peraturan perundangan-undangan ini biasa disebut dengan judicial review, baik pengujian UU terhadap UUD ataupun pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Sepintas memang tidak ada masalah dengan UU No. 12 tahun 2011 tersebut, namun kalau kita cermati dengan seksama maka akan terlihat kekosongan norma dalam hal pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Walaupun mengenai mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU 12/2011 menyebutkan bahwa:
a.       Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”).
b.      Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).
Pada pasal ini tidak jelas mengenai jika UU bertentangan dengan TAP MPR, kemana UU tersebut akan diuji, karena bisa saja suatu UU bertentangan dengan TAP MPR yang masih berlaku. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi PERMASALAHAN dalam tulisan ini adalah bagaimana pengujian UU terhadap TAP MPR yang masih berlaku?
B.                 Teori Perundang-Undangan Dan Judicial Review
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun hubungannya dengan lingkungannya. Norma adalah patokan atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku, norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Selanjutnya, seseorang menggabungkan diri dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya atau beberapa individu yang bergabung untuk membentuk masyarakat. Lalu masyarakat merupakan gabungan individu dan negara adalah masyarakat politik yang terorganisir, maka di mana ada masyarakat di situ ada hukum, kata Cicero.
Secara umum norma hukum norma hukum berisi suruhan, larangan dan kebolehan. Kelebihan dari norma hukum adalah karena bersifat umum dan norma hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa karena dibuat oleh penguasa, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa yang hanya dapat melakukan paksaan terhadap pelanggaran terhadap norma hukum adalah penguasa, karena penguasa memonopoli hukum, sebab hukum ada karena adanya kekuasaan yang sah.
Setiap UU yang akan diberlakukan dalam sebuah negara harus dibuat oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga legislatif. Carl J. Friedrich mengemukakan bahwa parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat maka legislasi adalah fungsi utamanya. Menurut Montesquieu, lembaga perwakilan rakyat dibentuk untuk membuat Undang-undang, atau untuk melihat apakah Undang-undang tersebut dijalankan semestinya, dan menentukan keuangan publik. Frank J. Goodnow mengemukakan bahwa fungsi utama dalam pemerintahan adalah fungsi politik, atau fungsi yang menyatakan keinginan negara dan fungsi administrasi, yang berarti melaksanakan keinginan negara.
Fungsi legislasi berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam pembentukan UU, menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu :
a.       Prakarsa pembuatan Undang-undang;
b.      Pembahasan draft Undang-undang;
c.       Persetujuan dan pengesahan draft Undang-undang;
d.      Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka menurut penulis dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perundang-undangan merupakan suatu norma atau aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang sah sebagai regulasi dalam suatu negara yang bersifat umum dan konkrit serta berbentuk suruhan, larangan atau kebolehan.
Kaitannya dengan norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan bahwa setiap aturan harus ada hierarkinya, dimulai dari yang norma dasar dan menjadi tolak ukur validitas bagi norma yang ada di bawahnya. Menurut Kelsen, norma yang ada dalam suatu negara bukanlah berdiri sejajar yang bersifat koordinatif, melainkan masing-masing norma mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Di sini Kelsen menempatkan konstitusi sebagai norma dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, maka UU yang ada tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Sejalan dengan pendapat Kelsen ini, maka berlaku asas lex superior derogat legi inferiori. Dalam hal hierarki norma tersebut, norma dasar merupakan tempat tergantungnya norma yang ada di bawahnya.
Oleh karena peraturan perundang-undangan mempunyai hierarki, setiap aturan yang lebih rendah tentunya harus disesuaikan dengan peraturan yang ada di atasnya, maka harus ada judicial review yaitu pengujian terhadap peraturan yang di bawah tersebut apakah sudah sesuai atau tidak dengan aturan yang diatasnya. Judicial review dalam UUD 1945 di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga kehakiman, yaitu Mahkaah Konstitusi yang menguji UU terhadap UUD 1945 dan Mahkamah Agung yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
C.                 Pengujian UU Terhadap TAP MPR
Secara teoritis hierarki perundang-undangan Indonesia berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 terdiri atas Staat fundamentalnorm Pancasila, verfassungnorm UUD 1945, Grundgesetznorm TAP MPRS dan MPR dan Gesetznorm Undang-undang. UUD 1945 setelah amandemen hanya memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden, secara otomatis konstitusi tidak lagi memberikan kewenangan menentukan GBHN kepada MPR dan dengan begitu maka MPR menjadi lembaga tinggi negara yang setingkat dengan Presiden, DPR, DPR, MA, MK dan KY dalam UUD 1945.
Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, akan lebih bagus kalau dilihat terlebih dahulu posisi TAP MPR bila dipandang dari lembaga yag membuatnya. Secara konstitusional MPR, yang meruapakan lembaga pembuat TAP MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang di atas lembaga lainnya, melainkan sudah setingkat dengan DPR yang juga lembaga legislatif. Berdasarkan asas bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula, maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di atas UU.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ, oleh karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan produk MPR yang pada waktu itu merupakan lembaga tertinggi negara, jelas secara otomatis aturan yang dikeluarkannya lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang merupakan lembaga di bawah DPR. Karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan prodeuk dari lembaga yang pada masa penetapannya merupakan lebih tinggi dari lembaga yang menetapkan UU maka TAP MPR tersebut lebih tinggi dari UU dan juga mempunyai sifat regeling karena masih diberikan wewenang oleh konstitusi. Akan tetapi berbeda untuk TAP MPR yang ditetapkan oleh MPR yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945, maka Ketetapannya setingkat dengan UU dan hanya berbentuk beshicking untuk administrasi internal MPR saja.
Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR/S dan secara otomatis pula maka UU harus sesuai dengan TAP MPR, jika tidak sesuai maka harus dilakukan pengujian, sayangnya mekanisme pengujian ini tidak diatur dalam UUD 1945, UU No. 12 tahun 2011 maupun UU No. 8 tahun 2011 tentang MK. Sebenarnya ada celah dalam melakukan pengujian tersebut, yakni jika kita tarik dari lembaga yang membuatnya.
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Berdasarkan pasal tersebut, maka TAP MPR/S kalau dilihat dari lembaga yang membuatnya adalah peraturan yang setingkat dengan UUD 1945, namun karena mengubah dan menetapkan UUD merupakan fungsi MPR yang utama (fungsi konstituante) maka secara hierarki UUD 1945 lebih tinggi dari TAP MPR/S. Dilihat dari lembaga yang membuatnya inilah, maka saya lebih sepakat kalau terjadi pertentangan UU terhadap TAP MPR/S maka yang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi.
Pengujian UU terhadap TAP MPR/S oleh Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi merupakan lembaga tempat pengujian UU terhadap UUD 1945,23 karena TAP MPR dan UUD 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujian UU terhadap TAP MPR/S juga melalui Mahkamah Konstitusi. Selain itu, karena dibuat oleh lembaga yang sama, TAP MPR/S dan UUD 1945 adalah Aturan Dasar Negara, yang membedakan keduanya adalah prosedur perubahannya. UUD 1945 lebih rumit kalau ingin merubahnya, sedangkan TAP MPR tidak begitu sulit.
Perdebatan pasti akan muncul jik` pengujian UU terhadap TAP MPR/S dilakukan di Mahkamah Konstitusi, karena tidak adanya aturan yang tertulis mengenai hal ini. Secara normatif kepasyian hukum memang benar, tapi kalau dilihat dari substansinya maka itu dapat dibenarkan, sebab dalam permasalahan ini terjadi kekosongan hukum, maka sebuah kebijaksanaan dapat diambil agar tercipta keadilan.
Pendapat ini bisa beralasan dari pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi memakai kata rechtstaat, berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang dengan jelas mencantumkan kata ini, yang berarti prosedur hukum atau UU (rechstaat) dilaksanakan demi keadilan hukum (rule of law). Mahfud MD mengatakan, bahwa ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan,25 karena hanya merupakan cara untuk mencapai keadilan. Misalkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap beberapa kalangan tidak sesuai dengan ekonomi kerakyatan, berarti UU tersebut bertentangan dengan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Andaikan ada yang keberatan dengan UU ini maka pengujian bisa dilakukan karena bertentanngan dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme pengujiannya belum ada, berarti negara dalam hal ini menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan karena merasa tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya UU tersebut. Bukankah undang-undang berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat. Jika UU No. 25 Tahun 2007 tidak diterima oleh masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar, maka akan kemana dilakukan pengujian, sedangkan Uud 1945, UU No. 12 Tahun 2012 maupn UU MK sendiri tidak mengaturnya. Secara kepastian hukum persoalan ini belum ada solusinya, tetapi demi menciptakan keadilan maka MK yang paling berwenang mengujinya terhadap TAP MPR No. XVI/MPR/1998.



 


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi ldmbaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.
TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.
Berdasarkan lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945.
Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006;
Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010;
Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Bandung : Nusa Media, 2010;
Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999;
Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007;
Purbacaraka, Purnadi dan Soekamto, Soerjono, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet. IV, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993;
Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, Yogyakarta : FH UII Press, 2009;