Laman

Tekad dan Komitmen adalah Kunci Mencapai Keberhasilan...

Jumat, 16 Maret 2012

Istilah-Istilah Dalam Hukum Acara Pidana

Istilah-Istilah Dalam Hukum Acara Pidana

Dalam hukum acara pidana terdapat istilah-istilah yang harus anda ketahui. Istilah tersebut sebagai berikut:
  • Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
  • Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencar serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
  • Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
  • Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
  • Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
  • a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
  • Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
  • Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  • Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.
  • Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
  • Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
  • Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
  • Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
  • Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
  • Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Mungkin hanya itu yang bisa saya berikan tentang istilah-istilah dalam hukum acara pidana.

Macam - Macam Hukum


Macam - Macam Hukum

Macam - macam hukum itu banyak sekali. Di sini saya akan menjelaskan macam - macam hukum dibedakan / digolongkan / dibagi menurut bentuk, sifat, sumber, tempat berlaku, isi dan cara mempertahankannya.

Menurut bentuknya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Tertulis, adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam perundang-undangan. COntoh : hukum pidana dituliskan pada KUHPidana, hukum perdata dicantumkan pada KUHPerdata.

2. Hukum Tidak Tertulis, adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu.

Hukum tertulis sendiri masih dibagi menjadi dua, yakni hukum tertulis yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Dikodifikasikan artinya hukum tersebut dibukukan dalam lembaran negara dan diundangkan atau diumumkan. Indonesia menganut hukum tertulis yang dikodifikasi. Kelebihannya adalah adanya kepastian hukum dan penyederhanaan hukum serta kesatuan hukum. Kekurangannya adalah hukum tersebut bila dikonotasikan bergeraknya lambat atau tidak dapat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju.

Menurut sifatnya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum yang mengatur, yakni hukum yang dapat diabaikan bila pihak-pihak yang bersangkutan telah  membuat peraturan sendiri.
2. Hukum yang memaksa, yakni hukum yang dalam keadaan apapun memiliki paksaan yang tegas.

Menurut sumbernya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Undang-Undang, yakni hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
2. Hukum Kebiasaan (adat), yakni hukum yang ada di dalam peraturan-peraturan adat.
3. Hukum Jurisprudensi, yakni hukum yang terbentuk karena keputusan hakim di masa yang lampau dalam perkara yang sama.
4. Hukum Traktat, yakni hukum yang terbentuk karena adanya perjanjian antara negara yang terlibat di dalamnya.

Menurut tempat berlakunyanya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.
2. HUkum Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara.
3. Hukum Asing adalah hukum yang berlaku di negara asing.

Menurut isinya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Privat (Hukum Sipil), adalah hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan dan orang        yang lain. Dapat dikatakan hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan warganegara. Contoh : Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Tetap dalam arti sempit hukum sipil disebut juga hukum perdata.
2. Hukum Negara (Hukum Publik) dibedakan menjadi hukum pidana, tata negara dan administrasi negara.
a. Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan negara
b. Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan alat perlengkapan negara.
c. Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antar alat perlengkapan negara, hubungan pemerintah pusat dengan daerah.

Menurut cara mempertahankannya, hukum itu dibagi menjadi :
1. Hukum Materiil, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Contoh Hukum Pidana, Hukum Perdata. Yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Materiil dan Hukum Perdata Materiil.
2. Hukum Formil, yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. Contoh Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.

Mungkin hanya itu yang bisa saya jelaskan tentang macam - macam hukum. Semoga ini bermanfaat buat Anda.

Pengertian Hukum Pidana


Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur kepentingan dan hubungan perseorangan dengan negara. Dengan kata lain hukum pidana ialah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan negara. Hukum pidana di Indonesia dikodifikasikan dalam buku KUHPidana (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Menurut cara mempertahankannya, hukum pidana termasuk hukum materiil dan menurut isinya, hukum pidana termasuk hukum publik.

Sama halnya dengan KUHPerdata, KUHPidana juga bukanlah merupakan buatan asli Indonesia. KUHPidana berasal dari WvS (Wetboek van Strafrecht), dari Negara Belanda. KOnsep WvS berasal dari Code Penal buatan Prancis. Begitu juga dengan Code Penal yang konsepnya sebenarnya berasal dari Kerajaan Romawi, yaitu Corpus Iuris Penal.

Perbuatan / tindak / delik pidana adalah perbuatan yang bila dilakukan dapat dikenakan hukuman dan atau sanksi berupa hukuman.

Sistematika KUHPidana
Buku I : Aturan-aturan umum (Pasal 1-103)
Buku II : Kejahatan (Pasal 104-488)
Buku III : Pelanggaran (489-569)

Dengan demikian, sementara dapat kita simpulkan bahwa tindak / perbuatan / delik pidana terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Kejahatan
2. Pelanggaran

PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN TINDAK PIDANA, UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA, SYARAT MELAWAN HUKUM, KESALAHAN, PERCOBAAN (POOGING), GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP) DAN PENYERTAAN

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN TINDAK PIDANA

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :
- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai  ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.


B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Unsur formal meliputi :
Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :
Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).
Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).
Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :
Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.
Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP) Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain
Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).

C. SYARAT MELAWAN HUKUM
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, pasal 51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu sendiri meliputi :
a. Sifat formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang.
b. Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus diatur dalam sebuah undang-undang tetapi juga dengan perasaan keadilan dalam masyarakat.
Perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi :
Fungsi negatif yaitu mengakui kemungkinan adanya hal-hal diluar undang-undang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang.
Fungsi positif yaitu mengakui bahwa suatu perbuatan itu tetap merupakan tindak pidana meskipun tidak dinyatakan diancam pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan yang ada di luar undang-undang.
Sifat melawan hukum untuk yang tercantum dalam undang-undang secara tegas haruslah dapat dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk suatu delik maka hal itu haruslah dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki fungsi negative maka hal itu tidak perlu dibuktikan.

D. KESALAHAN
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu.
Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Maka dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.

E. PERCOBAAN (POOGING)
Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
Ada perbuatan permulaan;
Perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai;
Tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri
Sifat Percobaan, terdapat 2 pandangan:
Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang) sehingga, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang berdiri sendiri (delictum sui generis), tetapi dipandang sebgai bentuk delik tidak sempurna (onvolkomendelictsvorm). Dianut: Hazewinkel‐Suringa, Oemar Seno Adji
Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan). Sehingga, percobaan dipandang sebagai delik yang sempurna (delictum sui generis)hanya dalam bentuk yang istimewa. Dianut: Pompe, Muljatno
Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Percobaan atau poooging diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan. Yang dapat dipidana, hanyalah percobaan terhadap kejahatan dan tidak terhadap pelanggaran (pasal 54)
Sanksi untuk percobaan berbeda dengan delik yang sempurna. Yakni maksimum pidana yang dijatuhkan terhadap kejahatan yang bersangkutan dikurangi 1/3.
Syarat‐syarat untuk dapat dipidananya percobaan adalah sebagai berikut:
Niat;
Adanya permulaan pelaksanaan;
Pelaksanaan tidak selesai bukan semata‐mata karena kehendaknya sendiri;
Menurut Moeljatno berpendapat bahwa niat jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi niat secra potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabbbbla sudah di tunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Pengertiannya :
Semua perbuatan yang diperlukan dalam kejahatan telah dilakukan tetapi akibat yang dilarang tidak timbul Kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada percobaan.
Oleh karena niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan maka isinya niat jangan diambil dari sisi kejahatannya apabila kejahatan timbul untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu jadi bahwa sudah ada sejak niat belum ditunaikan.
Harus ada permulaan pelaksanaan pasal 53, hal ini tidak dicantumkan: Permulaan pelaksanaan. Menurut mut harus diartikan dengan permulaan pelaksanaan dengan kejahatan.

Jenis-jenis dalam percobaan terdiri atas :
1. Percobaan selesai atau percobaan lengkap (violtooid poging)
Adalah suatu suatu percobaan apabla sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk menyelesikan suatu tindak pidana tetapi tdak terwujud bukan atas kehendaknya. Contoh : seorang A menembak B tetapi meleset.
2. Percobaan tertunda atau Percobaan terhenti atau tidak lengkap (tentarif poging)
Adalah suatu percobaan apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk selesainya tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan tidak selesai. Contoh : A membidikan pistolnya ke B dan dihalangi oleh C
3. Percobaan tidak mampu (endulig poging)
Adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk menimbulkan tindak pidana selesai karena :
- Alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu
- Obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.
Oleh karena itu dikenal 4 bentuk percobaan tidak mampu :
- Percobaan tidak mampu yang mutlak karena alat yaitu suatu percobaan yang sama sekali menimbulkan tindak pidana selesai karena alatnya sama sekali tidk dapat dipakai.
- Percobaan mutlak karena obyek yaitu suatu percobaan yang tidak mungkin menimbulkan tindak pidana selesi kaena obyeknya sama sekali tidak mungkin menjadi obyek tindak pidana.
- Percobaan relatif karena alat yaitu karena alatnya umumnya dapat dipai tetapi kenyataanya tidak dapat dipakai.
- Percobaan relatif karena obyek yaitu apabila subyeknya pada umumnya dapat menjadi obyek tindak pidana tetapi tidak dapat menjadi obyek tindaka pidana yang bersangkutan.
4. Percobaan yang dikualifikasikan
Yaitu untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai hasil sebagaimana yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau tersendiri.


F. PENYERTAAN
Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan tindak pidana terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana.
Menurut Van Hamel dalam Lamintang mengemukakan ajaran mengenai penyertaan itu adalah[1]) : “Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material”.
Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan dibagi menjadi 2 (dua) pembagian besar, yaitu:
1. Pembuat atau Dader
Pembuat atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu berasal dari kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan[2]). Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pembuat atau dader sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari :
Pelaku (pleger). Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan Pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat dihukum[3]).
Yang menyuruhlakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung atau manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung atau manus domina/auctor intellectualis[4]). Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu. Menurut Simons, syarat-syarat tersebut antara lain[5]) :
1) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
2) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
3) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
4) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana.
5) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
6) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu.
7) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undng-undang yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Yang turut serta (medepleger). Menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.
Penganjur (uitlokker) adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan[6]).
2. Pembantu atau medeplichtige
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :
1). Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2). Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
3). Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
4). Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.
Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :

1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :
Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan, Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP), Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).

2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :
Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).


G. GABUNGAN TINDAK PDANA (SAMENLOOP)
Gabungan tindak pidana (samenloop van starfbare feiten) terdiri atas tiga macam gabungan tindak pidana, yaitu :
Seorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana, yang dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan “ gabungan berupa satu perbuatan” (eendaadsche samenloop), diatur dalam pasal 163 KUHP. Seorang melakukan bebrapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana, tetapi dengan adanya hubungan antara satu sama lain, dianggap sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan (Voortgezette handeling), diatur dalam pasal 64 KUHP. Seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungan satu sama lain, dan yang masing-masing merupakan tindak pidana; hal tersebut dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakn “gabungan beberapa perbuatan “(meerdaadsche samenloop), diatur dalam pasal 65 dan 66 KUHP.

PERMINTAAN DAN PENAWARAN (DEMAND AND SUPPLY)

PERMINTAAN DAN PENAWARAN (DEMAND AND SUPPLY)

A. Permintaan
Masyarakat selaku konsumen harus membeli barang atau jasa keperluannya di pasar. Keadaan ini mengandaikan bahwa barang atau jasa itu memiliki tingkat harga tertentu. Adanya berbagai macam harga di pasar selanjutnya mengandaikan adanya kondisi yang mempengaruhi. Adapun unsure-unsur yang terdapat pada permintaan yakni barang atau jasa, harga dan kondisi yang mempengaruhi. Jadi permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang dibeli dalam berbagai situasi dan tingkat harga.

1. Kurva Permintaan
Permintaan di tempatkan sebagai fungsi yang dipengaruhi oleh beberapa factor. Factor yang di maksid adalah harga, barang, atau jasa, selera dan pendapatan. Keterkaitan antara permintaan dan faktor-faktor tersebut menghasilkan rumus sbb :

X= f (Hb1, Hb2, S, P)
Dimana :
H = harga S = selera
B = barang atau jasa P = Pendapatan

Dalam kaitannya dengan factor ekonomi pada masalah permintaan ini berlaku ceteris paribus. Dalam kondisi seperti ini harga merupakan factor dominant dalam permintaan, sementara factor yang lain dianggap tidak berubah.
  • Pada harga yang tinggi , banyak pembeli yang tidak mampu membeli atau mungkin cenderung mencari barang substitusi dengan harga terjangkau. Sedangkan pada harga rendah, pembeli yang tadinya kurang mammpu menjadi mampu untuk membeli
  • Bagi pembeli perorangan, kenaikan harga akan memperkecil daya beli pembeli atau akan mengurangi anggaran untuk alat pemuas kebutuhan yang lainnya (dengan catatan pendapatan tetap)
  • Adanya harga barang substitusi yang harganya jauh lebih rendah akan lebih menarik apabila harga suatu barang atau jasa semakin tinggi. Akibatnya pembeli akan beralih dari barang atau jasa yang telah biasa di konsumsi ke barang atau jasa substitusi
Bentuk kurva seperti ini menunjukan bahwa semakin rendah harga barang di pasar barang yang dapat dibeli oleh masyarakat semakin banyak.

2. Hukum Permintaan
Hukum ekonomi berlaku ceteris paribus (diluar obyek yang diselidiki, keadaannya tetap tidak berubah). Singkatnya hukum permintaan adalah : “ Permintaan akan bertambah apabila harga turun dan akan berkurang apa bila harga naik”
Hukum permintaan tersebut dilatari oleh kenyataan bahwa orang harus memenuhi kebutuhannya sebatas anggaran atau pendapatan tertentu. Muncul masalah disini mengapa manusia harus memenuhi berbagai kebutuhan, sementara anggaran yang dimilikinya terbatas? Alasannya, setiap benda pemenuhan kebutuhan mempunyai kegunaan (utilitas)nya masing-masing sehingga orang akan berupaya memenuhi kebutuhan dengan menyamakan pertambahan kegunaan (utilitas marginal) benda pemuas kebutuhan yang dikonsumsinya.

B. PENAWARAN
Dalam rangka menjawab kebutuhan konsumen, pihak produsen menyediakan berbagai barang dan jasa. Barang dan jasa hasil produksi ini kemudian dijual kepada konsumen di pasar menurut tingkat harga tertentu. permintaan bersangkut paut dengan pembelian dan pemakainan sedangkan penawaran bersangkut paut dengan peneyediaan dan penjualan. Jadi penawaran adalah jumlah barang dan jasa yang tersedia untuk dijual pada berbagai tingkat harga dan situasi.

1. Kurva Penawaran
Penjual biasanya ingin menjual barang atau jasa yang diproduksinya dengan harga tinggi. walaupun resikonya adalah barang yang terjual akan relative sedikit. Untuk menjual pada tingkat harga yang diinginkan, seorang penjual harus mempunyai pengamatan yang cermat terhadap perilaku pasar.
Contoh : Penjual buah-buahan ingin menjual buah dengan harga yang tinggi dipasar. Sayangnya keinginan itu bertepatan dengan musim panen raya. Akibatnya dipasar akan berkerumunan penjual buah-buahan sehingga harga buah-buahan pun jatuh..
Dalam ekonomi terdapat permintaan (demand) dan penawaran (supply) yang saling bertemu dan membentuk satu titik pertemuan dalam satuan harga dan kuantitas (jumlah barang). Setiap transaksi perdagangan pasti ada permintaan, penawaran, harga dan kuantitas yang saling mempengaruhi satu sama lain.

A. Pengertian/Arti Definisi Permintaan dan Penawaran
Permintaan adalah sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu harga dan waktu tertentu. Sedangkan pengertian penawaran adalah sejumlah barang yang dijual atau ditawarkan pada suatu harga dan waktu tertentu.
Contoh permintaan adalah di pasar kebayoran lama yang bertindak sebagai permintaan adalah pembeli sedangkan penjual sebagai penawaran. Ketika terjadi transaksi antara pembeli dan penjual maka keduanya akan sepakat terjadi transaksi pada harga tertentu yang mungkin hasil dari tawar-menawar yang alot.

B. Hukum Permintaan dan Hukum Penawaran
Jika semua asumsi diabaikan (ceteris paribus) : Jika harga semakin murah maka permintaan atau pembeli akan semakin banyak dan sebaliknya. Jika harga semakin rendah/murah maka penawaran akan semakin sedikit dan sebaliknya.
Semua terjadi karena semua ingin mencari kepuasan (keuntungan) sebesar-besarnya dari harga yang ada. Apabila harga terlalu tinggi maka pembeli mungkin akan membeli sedikit karena uang yang dimiliki terbatas, namun bagi penjual dengan tingginya harga ia akan mencoba memperbanyak barang yang dijual atau diproduksi agar keuntungan yang didapat semakin besar. Harga yang tinggi juga bisa menyebabkan konsumen/pembeli akan mencari produk lain sebagai pengganti barang yang harganya mahal.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan (Demand)

1. Perilaku konsumen / selera konsumen
Saat ini handphone blackberry sedang trend dan banyak yang beli, tetapi beberapa tahun mendatang mungkin blackberry sudah dianggap kuno.
2. Ketersediaan dan harga barang sejenis pengganti dan pelengkap
Jika roti tawar tidak ada atau harganya sangat mahal maka meises, selai dan margarin akan turun permintaannya.
3. Pendapatan/penghasilan konsumen
Orang yang punya gaji dan tunjangan besar dia dapat membeli banyak barang yang dia inginkan, tetapi jika pendapatannya rendah maka seseorang mungkin akan mengirit pemakaian barang yang dibelinya agar jarang beli.
4. Perkiraan harga di masa depan
Barang yang harganya diperkirakan akan naik, maka orang akan menimbun atau membeli ketika harganya masih rendah misalnya seperti bbm/bensin.
5. Banyaknya/intensitas kebutuhan konsumen
Ketika flu burung dan flu babi sedang menggila, produk masker pelindung akan sangat laris. Pada bulan puasa (ramadhan) permintaan belewah, timun suri, cincau, sirup, es batu, kurma, dan lain sebagainya akan sangat tinggi dibandingkan bulan lainnya.

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Penawaran (Suply)

1. Biaya produksi dan teknologi yang digunakan
Jika biaya pembuatan/produksi suatu produk sangat tinggi maka produsen akan membuat produk lebih sedikit dengan harga jual yang mahal karena takut tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dan produk tidak laku terjual. Dengan adanya teknologi canggih bisa menyebabkan pemangkasan biaya produksi sehingga memicu penurunan harga.
2. Tujuan Perusahaan
Perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya (profit oriented) akan menjual produknya dengan marjin keuntungan yang besar sehingga harga jual jadi tinggi. Jika perusahaan ingin produknya laris dan menguasai pasar maka perusahaan menetapkan harga yang rendah dengan tingkat keuntungan yang rendah sehingga harga jual akan rendah untuk menarik minat konsumen.
3. Pajak
Pajak yang naik akan menyebabkan harga jual jadi lebih tinggi sehingga perusahan menawarkan lebih sedikit produk akibat permintaan konsumen yang turun.
4. Ketersediaan dan harga barang pengganti/pelengkap
Jika ada produk pesaing sejenis di pasar dengan harga yang murah maka konsumen akan ada yang beralih ke produk yang lebih murah sehingga terjadi penurunan permintaan, akhirnya penawaran pun dikurangi.
5. Prediksi / perkiraan harga di masa depan
Ketika harga jual akan naik di masa mendatang perusahaan akan mempersiapkan diri dengan memperbanyak output produksi dengan harapan bisa menawarkan/menjual lebih banyak ketika harga naik akibat berbagai faktor.

SUMBER HUKUM FORMIL

SUMBER HUKUM FORMIL

Hukum formil, yaitu aturan main penegakkan hukum materiil tersebut, misalnya dalam mengajukan gugatan seorang penggugat(orang yang menggugat) harus mengajukan surat gugatan ke pengadilan tempat kediaman tergugat (orang yang digugat) sesuai asas actor sequitur forum rei, atau dalam menanggapi surat gugatan penggugat tergugat harus membuat surat jawaban dan lain sebagainya.

Penjelasan tentang sumber-sumber hukum formil yang meliputi:
Undang-Undang
Kebiasaan
Yurisprudensi
Traktat, dan
Doktrin.

Adapun sumber-sumber hukum formil tersebut dijelaskan secara sederhana sebagai berikut:

1. UNDANG-UNDANG
adalah suatu peraturan negara yangmempunyaikekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh negara. Contohnya : Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. KEBIASAAN (KONVENSI)
adalah semua tindakan atau peraturan yang ditaati karena adanya keyakinan bahwa tindakan atau peraturan itu berlaku sebagai hukum dan dilaksanakan berulang-ulang.
Terdapat kata kunci disini yaitu "Keyakinan" dan dilaksanakan "berulang-ulang", jadi tidak sembarang kebiasaan dapat menjadi sumber hukum formil.
Keyakinan disini memiliki dua arti, yaitu:
Keyakinan dalam arti materil : adalah tindakan atau peraturan tersebut memuat hukum yang baik.
Keyakinan dalam arti formil : adalah tindakan atau peraturan tersebut harus diikuti dengan taat dan baik tanjpa peduli apapun isinya.
Berulang-ulang : kebiasaan ini harus dilakukan berulang-ulang sehingga diikuti oleh orang lain dan akhirnya menjadi suatu sumber hukum.

3. YURISPRUDENSI
adalah keputusan hakim atau putusan pengadilan terdahulu yang dapat dipakai sebagai pedoman oleh hakim berikutnya dalam memutuskan suatu perkara.
Hal ini adalah karena hakim juga berperan sebagai :
1) Pembentuk Undang-Undang
2) Pengundang-undang

Berdasarkan Pasal 21 A.B. hakim memiliki tugas :
1) Menerima Perkara;
2) Memeriksa Perkara, dan;
3) Memutuskan Perkara
yaitu semua perkara yang diberikan kepadanya dan tidak boleh menolak setiap perkara yang diberikan atau diembankan kepadanya.
Jadi hakim harus bersifat "Recht Finding".

4. TRAKTAT
 adalah perjanjian antar negara. perjanjian antar negara ini kemudian menjadi sumber hukum dalam negara dengan syarat:
1) Penetapan isi perjanjian oleh negara-negara peserta,
2) Persetujuan perjanjian tersebut oleh negara-negara peserta,
3) Ratifikasi atau dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan negara peserta dengan disahkan sebagai undang-undang di masing-masing negara peserta,
4) Pengumuman oleh negara peserta kepada rakyatnya, misalnya jika di Indonesia dengan meletakkannya di Lembaran Negara dan diumumkan melalui Berita Negara.

5. DOKTRIN
adalah Pendapat Ahli Hukum yang ternama yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. 
Doktrin ini bisa saja berasal dari buku-buku atau karya para ahli hukum tersebut.

Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia


Sejarah Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Sejak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah dilakukan perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada tahun 1996, dengan Ketetapan MPR No. XX/MPR/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia adalah:
1.       Undang-undang Dasar 1945
2.       Ketetapan MPR
3.       Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4.       Peraturan Pemerintah
5.       Keputusan Presiden
6.       Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti:
   -        Peraturan Menteri
   -        Instruksi Menteri
   -        Dan lain-lainnya
 Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai daerah di Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta semakin kuatnya ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai mengubah konsep otonomi daerah. Maka lahirlah Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (telah diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004). Perubahan ini tentu saja berimbas pada tuntutan perubahan terhadap tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena itulah, dibuat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang. Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak dimasukkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, setelah lahirnya Ketetapan MPR No. II Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata urutan tersebut setelah Keputusan Presiden.
Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1.       Undang-undang Dasar 1945
2.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.       Undang-undang
4.       Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5.       Peraturan Pemerintah
6.       Keputusan Presiden
7.       Peraturan Daerah


Peraturan Perundangan
Pasal 1 butir 2 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dilihat dari sisi materi muatannya, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regelling) secara umum dan abstrak, tidak konkrit dan individual seperti keputusan penetapan.

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah terdiri atas Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.

Selain jenis Peraturan Perundang-Undangan di atas, Pasal 7 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Dalam praktik selain jenis sebagaimana dimaksud tersebut juga terdapat Peraturan Menteri sebagai produk hukum yang bersifat mengatur. Oleh karena itu, dalam laman ini juga dimuat Peraturan Menteri. Untuk nama produk hukum, terutama jenis Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri, masih terdapat ketidakseragaman, beberapa produk hukum yang dikeluarkan oleh Presiden dan Menteri masih dinamakan Keputusan (Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri). Kedua produk hukum tersebut, sepanjang materi muatannya mengatur, dimasukkan dalam kategori Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri.

Selain itu, juga masih ditampilkan produk hukum Ketetapan MPR. Walaupun saat ini sudah tidak dikenal lagi, namun berdasakan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, terdapat 2 Ketetapan yaitu; Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran Komunis/MarxismeLeninisme dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Di samping itu, juga terdapat 11 Ketetapan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 yang masih berlaku sampai terbentuknya undang-undang yang mengaturnya.



Jenis dan Hierarki

Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
  1. UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
  4. Peraturan Pemerintah (PP)
  5. Peraturan Presiden (Perpres)
  6. Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.