SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH)
"SUNAN GIRI" MALANG
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan Rahmat dan karuniah-Nya kepada
penulis untuk menyelesaikan makalah dengan judul “Kedudukan TAP MPR
setelah digantikanya UU No 10 Tahun 2004 dengan UU No 12 Tahun 2011”.
ini dengan baik. Makalah ini adalah tugas matakuliah Pengantar Hukum
Indonesia oleh Bapak Malik.,SH.,MH selaku dosen di Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum (STIH)”Sunan Giri” Malang. Tempat dimana penulis melanjutkan jenjang
pendidikan. Oleh jarena itu tugas ini sangan bermutu sebagai pemula seperti
penulis untuk mengetahyi dan memahami sistem Hukum yang ada di Negara ini.
Dengan
demikian makalah ini penulis buat, tentunya dengan besar harapan dapat
bermanfaat bagi sifitas akademika khusnya terhadap saudara/i seperjuangan di
STIH. Namun tidak menutup kemungkunan makalah ini masih jauh dari sempurnah,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis,
tentunya untuk kepentingan proses peningkatan cakrawala berfikir kita bersama
dalam memahami hakekat Hukum itu sendiri. Terimakasih.
&nbrp;
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengatar ……………………………………………………………………………….. i
Daftar
isi ……………………………………………………………………………………..
ii
BAB I:
Pendahuluan ………………………………………………………………………… 1
A. :
Latar Belakang ……………………………………………...…………………… 1
B.
Rumusan Masalah
…………………………………………………………….... 1
C.
Tujuan …………………………………………………………………………... 1
BAB II:
Pembahasan ………………………………………………………………………. 2
A.
Alsan UU No 10 Tahun 2004 diganti dengan UU No.
12 Tahun 2011 ………… 2
B.
Teori
Perundang-Undangan Dan Judicial Review …………………................... 3
C.
Pengujian
UU Terhadap TAP MPR …………………………………................. 5
BAB
III: Penutup ……………………………………………………………………………
8
A.
Kesimpulan
……………………………………………………………………. 8
Daftar
Pustaka ……………………………………………………….…………………..
9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Lata Belakang
Hukum dalam
arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga
yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan
perundang-undangan.1 Sebuah aturan
merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam
bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi
hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun
bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut,
akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh
aturan tersebut.
UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini
dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana
dimaksud Aat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”,
serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi
harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi
terhadap eksistensi TAP MPR.
B.
Rumusan Masalah
1.
Adakah alasan utama mengapa UU No 10 Tahun 2004
digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
2.
Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial
Revew dapat menjadi jamianan kedudukan TAP MPR ?
3.
Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR sesuai
sistem sumber Hukum ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui dan memahami Hal yang Dimaksud
Rumusan Masalah di atas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Alsan UU No 10 Tahun 2004 diganti dengan UU
No. 12 Tahun 2011
Agar supaya
terciptanya suatu negara hukum maka negara membuat suatu aturan baku tentang UU
tata cara dan mekaisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia
telah ada beberapa regulasi mengenai pengaturan pembentukan peraturan
perundang-undangan, yaitu TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib
Hukum, TAP MPR No. III/MPR/2000 dan disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Merasa aturan terdahulu belum
lengkap, maka pada tanggal 12 Agustus 2011 pemerintah menetapkan UU No. 12
Tahun 2011 pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
UU No. 12
Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni masuknya kembali TAP MPR dalam
hierarki dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan
bahwa hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, TAP MPR,
UU/Perpu, Peraturan pemerintah, Perpres, Paerda Propinsi dan Perda Kabupaten.2 Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa
TAP MPR yang dimaksud adalah TAP MPRS dan TAP MPR yang masih berlaku
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, yaitu TAP
MPRS dan MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Contoh TAP MPR yang
masih berlaku antara lain adalah TAP MPR No. XXV/MPRS/I966
tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia dan TAP MPR No. XVI/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
UU merupakan
sebuah produk politik, berarti sangat sarat dengan muatan kepentingan dan ada
kemungkinan sebuah UU akan bertentangan dengan konstitusi atau UUD,3 ataupun sebuah peraturan yang ada di bawah
UU bisa saja bertentangan dengan UU. Berpijak dari alasa tersebut, untuk check
and balances diperlukan sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menguji
konstitusional sebuah UU ataupun Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di
bawah UU terhadap UU. Pengujian peraturan perundangan-undangan ini biasa
disebut dengan judicial review, baik
pengujian UU terhadap UUD ataupun pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah UU terhadap UU.
Sepintas
memang tidak ada masalah dengan UU No. 12 tahun 2011 tersebut, namun kalau kita
cermati dengan seksama maka akan terlihat kekosongan norma dalam hal pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan. Walaupun mengenai mekanisme pengujian
peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU 12/2011 menyebutkan bahwa:
a.
Dalam hal suatu Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”).
b.
Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).
Pada pasal
ini tidak jelas mengenai jika UU bertentangan dengan TAP MPR, kemana UU
tersebut akan diuji, karena bisa saja suatu UU bertentangan dengan TAP MPR yang
masih berlaku. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi PERMASALAHAN
dalam tulisan ini adalah bagaimana pengujian UU terhadap TAP MPR yang masih
berlaku?
B.
Teori Perundang-Undangan
Dan Judicial Review
Sebelum
berbicara lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, norma merupakan
suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan
sesamanya ataupun hubungannya dengan lingkungannya.
Norma adalah patokan atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah
laku, norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Selanjutnya, seseorang
menggabungkan diri dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya atau beberapa
individu yang bergabung untuk membentuk masyarakat. Lalu masyarakat merupakan
gabungan individu dan negara adalah masyarakat politik yang terorganisir, maka
di mana ada masyarakat di situ ada hukum, kata Cicero.
Secara umum
norma hukum norma hukum berisi suruhan, larangan dan kebolehan. Kelebihan dari norma hukum adalah karena bersifat umum
dan norma hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa karena dibuat oleh penguasa,
Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa yang hanya dapat melakukan paksaan
terhadap pelanggaran terhadap norma hukum adalah penguasa, karena penguasa
memonopoli hukum, sebab hukum ada karena adanya kekuasaan yang sah.
Setiap UU
yang akan diberlakukan dalam sebuah negara harus dibuat oleh lembaga yang
berwenang, yaitu lembaga legislatif. Carl J. Friedrich mengemukakan bahwa
parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat maka legislasi adalah fungsi
utamanya. Menurut Montesquieu, lembaga perwakilan
rakyat dibentuk untuk membuat Undang-undang, atau untuk melihat apakah
Undang-undang tersebut dijalankan semestinya, dan
menentukan keuangan publik. Frank J. Goodnow mengemukakan bahwa fungsi utama
dalam pemerintahan adalah fungsi politik, atau fungsi yang menyatakan keinginan
negara dan fungsi administrasi, yang berarti melaksanakan keinginan negara.
Fungsi
legislasi berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat
warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pelaksanaan
fungsi legislasi dalam pembentukan UU, menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu :
a. Prakarsa
pembuatan Undang-undang;
b. Pembahasan
draft Undang-undang;
c. Persetujuan
dan pengesahan draft Undang-undang;
d. Pemberian
persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan
dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.
Berdasarkan
beberapa uraian di atas, maka menurut penulis dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa perundang-undangan merupakan suatu norma atau aturan yang dibuat oleh
lembaga negara yang sah sebagai regulasi dalam suatu negara yang bersifat umum
dan konkrit serta berbentuk suruhan, larangan atau kebolehan.
Kaitannya
dengan norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan bahwa setiap aturan harus ada
hierarkinya, dimulai dari yang norma dasar dan menjadi tolak ukur validitas
bagi norma yang ada di bawahnya. Menurut Kelsen,
norma yang ada dalam suatu negara bukanlah berdiri sejajar yang bersifat
koordinatif, melainkan masing-masing norma mempunyai tingkatan-tingkatan yang
berbeda.
Di sini
Kelsen menempatkan konstitusi sebagai norma dasar bagi setiap peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat, maka UU yang ada tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi. Sejalan dengan pendapat Kelsen ini, maka berlaku asas lex
superior derogat legi inferiori. Dalam hal
hierarki norma tersebut, norma dasar merupakan tempat tergantungnya norma yang
ada di bawahnya.
Oleh karena
peraturan perundang-undangan mempunyai hierarki, setiap aturan yang lebih
rendah tentunya harus disesuaikan dengan peraturan yang ada di atasnya, maka
harus ada judicial review yaitu pengujian terhadap peraturan yang di
bawah tersebut apakah sudah sesuai atau tidak dengan aturan yang diatasnya. Judicial review dalam UUD 1945 di Indonesia
dilakukan oleh dua lembaga kehakiman, yaitu Mahkaah Konstitusi yang menguji UU
terhadap UUD 1945 dan Mahkamah Agung yang menguji peraturan perundang-undangan
di bawah UU terhadap UU.
C.
Pengujian UU Terhadap TAP MPR
Secara
teoritis hierarki perundang-undangan Indonesia berdasarkan UU No. 12 tahun 2011
terdiri atas Staat fundamentalnorm Pancasila, verfassungnorm
UUD 1945, Grundgesetznorm TAP MPRS dan MPR dan Gesetznorm
Undang-undang. UUD 1945 setelah amandemen hanya
memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik
Presiden dan Wakil Presiden serta memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil
Presiden, secara otomatis konstitusi tidak lagi
memberikan kewenangan menentukan GBHN kepada MPR dan dengan begitu maka MPR
menjadi lembaga tinggi negara yang setingkat dengan Presiden, DPR, DPR, MA, MK
dan KY dalam UUD 1945.
Sebelum
menganalisis lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, akan lebih
bagus kalau dilihat terlebih dahulu posisi TAP MPR bila dipandang dari lembaga
yag membuatnya. Secara konstitusional MPR, yang meruapakan lembaga pembuat TAP
MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang di atas lembaga lainnya,
melainkan sudah setingkat dengan DPR yang juga lembaga legislatif. Berdasarkan
asas bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan berkedudukan
lebih tinggi pula, maka TAP MPR secara teoritis
akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di atas UU.
Persoalan
tidak berhenti sampai di situ, oleh karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan
produk MPR yang pada waktu itu merupakan lembaga tertinggi negara, jelas secara
otomatis aturan yang dikeluarkannya lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan
UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang merupakan lembaga di bawah DPR.
Karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan prodeuk dari lembaga yang pada masa
penetapannya merupakan lebih tinggi dari lembaga yang menetapkan UU maka TAP
MPR tersebut lebih tinggi dari UU dan juga mempunyai sifat regeling
karena masih diberikan wewenang oleh konstitusi. Akan tetapi berbeda untuk TAP
MPR yang ditetapkan oleh MPR yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945, maka
Ketetapannya setingkat dengan UU dan hanya berbentuk beshicking untuk
administrasi internal MPR saja.
Secara
normatif UU berada di bawah TAP MPR/S dan secara otomatis pula maka UU harus
sesuai dengan TAP MPR, jika tidak sesuai maka harus dilakukan pengujian,
sayangnya mekanisme pengujian ini tidak diatur dalam UUD 1945, UU No. 12 tahun
2011 maupun UU No. 8 tahun 2011 tentang MK. Sebenarnya ada celah dalam
melakukan pengujian tersebut, yakni jika kita tarik dari lembaga yang
membuatnya.
Berdasarkan
pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD.
Berdasarkan pasal tersebut, maka TAP MPR/S kalau dilihat dari lembaga yang
membuatnya adalah peraturan yang setingkat dengan UUD 1945, namun karena
mengubah dan menetapkan UUD merupakan fungsi MPR yang utama (fungsi konstituante)
maka secara hierarki UUD 1945 lebih tinggi dari TAP MPR/S. Dilihat dari lembaga
yang membuatnya inilah, maka saya lebih sepakat kalau terjadi pertentangan UU
terhadap TAP MPR/S maka yang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi.
Pengujian UU
terhadap TAP MPR/S oleh Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi
merupakan lembaga tempat pengujian UU terhadap UUD 1945,23 karena TAP MPR dan UUD 1945 bisa
dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujian UU
terhadap TAP MPR/S juga melalui Mahkamah Konstitusi. Selain itu, karena dibuat
oleh lembaga yang sama, TAP MPR/S dan UUD 1945 adalah Aturan Dasar Negara, yang membedakan keduanya adalah prosedur
perubahannya. UUD 1945 lebih rumit kalau ingin merubahnya, sedangkan TAP MPR
tidak begitu sulit.
Perdebatan
pasti akan muncul jik` pengujian UU terhadap TAP MPR/S dilakukan di Mahkamah
Konstitusi, karena tidak adanya aturan yang tertulis mengenai hal ini. Secara
normatif kepasyian hukum memang benar, tapi kalau dilihat dari substansinya
maka itu dapat dibenarkan, sebab dalam permasalahan ini terjadi kekosongan
hukum, maka sebuah kebijaksanaan dapat diambil agar tercipta keadilan.
Pendapat ini
bisa beralasan dari pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi memakai kata rechtstaat,
berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang dengan jelas mencantumkan kata
ini, yang berarti prosedur hukum atau UU (rechstaat) dilaksanakan demi
keadilan hukum (rule of law). Mahfud MD mengatakan, bahwa ketentuan
tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan,25
karena hanya merupakan cara untuk mencapai keadilan. Misalkan UU No. 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal dianggap beberapa kalangan tidak sesuai dengan
ekonomi kerakyatan, berarti UU tersebut bertentangan dengan TAP MPR No.
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Andaikan ada
yang keberatan dengan UU ini maka pengujian bisa dilakukan karena bertentanngan
dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme pengujiannya belum ada, berarti negara
dalam hal ini menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan karena merasa
tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya UU tersebut. Bukankah undang-undang berfungsi sebagai pengatur
masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan
keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat. Jika UU No. 25 Tahun 2007 tidak diterima oleh
masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar, maka akan kemana dilakukan
pengujian, sedangkan Uud 1945, UU No. 12 Tahun 2012 maupn UU MK sendiri tidak
mengaturnya. Secara kepastian hukum persoalan ini belum ada solusinya, tetapi
demi menciptakan keadilan maka MK yang paling berwenang mengujinya terhadap TAP
MPR No. XVI/MPR/1998.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara
teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum
perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR
posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR
setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan
Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP
MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan
pada saat MPR masih menjadi ldmbaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih
tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi
negara.
TAP MPR/S
sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945
yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada
diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak
lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal,
serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.
Berdasarkan
lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945,
karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR
mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante,
sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua,
prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak
begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki
berada di bawah UUD 1945.
Karena
sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap
TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan
oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU
terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan
dibandingkan dengan kepastian hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010;
Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Bandung : Nusa Media, 2010;
Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999;
Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007;
Purbacaraka, Purnadi dan Soekamto, Soerjono, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet. IV, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993;
Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, Yogyakarta : FH UII Press, 2009;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar