Suatu akibat tertentu terkadang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan
yang saling terkait yang menjadi faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya akibat. Yang menjadi permasalahan adalah kepada siapa akan
dipertanggungjawabkannya suatu akibat tersebut. Dalam hal ini para ahli
hukum berbeda pendapat. Berikut adalah teori-teori kausalitas :
1. Teori conditio sine qua non
Teori
ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum
dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi
penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) ) dari
rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa”
(akibat). Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari
rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan
akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat
dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab
serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.
Teori
conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie),
karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan
sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab
(meervoudige causa) ).
Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah
“bedingungs theorie” (teori syarat ), disebut demikian karena dalam
teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada
perbedaan.
Dalam perkembangan teori Von Buri banyak menimbulkan
kontra dari para ahli hukum, sebab teorinya dianggap kurang
memperhatikan hal-hal yang sifatnya kebetulan terjadi ). Selain itu
teori ini pun tidak digunakan dalam hukum pidana karena dianggap sangat
memperluas dasar pertanggungjawaban (strafrechtelijke aansprakelijheid) .
Van Hamel adalah satu penganut teori Von Buri. Menurut Von Hamel
teori conditio sine qua non adalah satu-satunya teori yang secara logis
dapat dipertahankan. Teori conditio sine qua non “baik” untuk digunakan
dalam hukum pidana, asal saja didampingi atau dilengkapi dengan teori
tentang kesalahan (schuldleer) yang dapat mengkorigir dan meregulirnya
). Teori Van Hamel disebut “teori sebab akibat yang mutlak” (absolute
causaliteitsleer) ). Moelyatno menyimpulkan dari pendapat Van Hamel
bahwa pada dasarnya Van Hamel sendiri merasa teori conditio sine qua non
masih kurang, kecuali jika diimbangi dengan pembatasan (restriksi) yang
bisa ditemukan dalam pelajaran tentang kesalahan dan kealpaan. Namun,
moelyatno sendiri kurang menyetujui pendapat tersebut, karena dengan
menyamaratakan nilai tiap-tiap musabab dan syarat, meskipun hal itu
secara logis adalah benar, tapi itu bertentangan dengan pandangan umum
dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syarat dan
musabab ). Secara teoritis begitulah keadaannya, namun pada prakteknya
justru sebaliknya yakni membedakan antara syarat dan musabab.
2. Teori yang menginvidualisir
Teori
ini muncul untuk memperbaiki dan menyempurnakan teori conditio sine qua
non. Teori ini mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab secara
pandangan khusus (mengindividualisasikan), yakni secara konkrit mengenai
perkara tertentu saja, dan karena itu mengambil pendiriannya pada saat
sesudah akibatnya timbul (post- faktum) Ada beberapa teori yang
termasuk dalam teori ini adalah:
a). teori der meist wirksame bedingung
Teori
ini berasal dari Birkmeyer. Teori ini mencari syarat manakah yang dalam
keadaan tertentu yang paling banyak berperan untuk terjadinya akibat
(meist wirksame) diantara rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat
dihilangkan untuk timbulnya akibat. Jadi, teori ini mencari syarat yang
paling berpengaruh diantara syarat-syarat lain yang diberi nilai.
Teori
ini mengalami kesulitan untuk menjawab permasalahan yang muncul yakni,
bagaiman cara menentukan syarat yang paling berpengaruh itu sendiri atau
dengan kata lain bagaimana mengukur kekuatan suatu syarat untuk
menentukan mana yang paling kuat, yang paling membantu pada timbulnya
akibat) . Apalagi jika syarat-syarat itu tidak sejenis) .
b.Teori gleichewicht atau uebergewicht
Teori
ini pertama kali dikemukakan oleh Karl Binding, teori ini mengatakan
bahwa musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat
positif untuk melebihi syarat-syarat negative) . Menurut Binding, semua
syarat-syarat yang menimbulkan akibat adalah sebab, ini menunjukkan
bahwa ada persamaan antara teori ini dengan teori conditio sine qua non.
c. Teori die art des werden
Teori ini dikemukakan oleh
Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat yang menurut sifatnya
(art) menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran
Birkmeyer) . Syarat-syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika
memiliki nilai yang hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana
yang menimbulkan akibat.
d. Teori Letze Bedingung
Dikemukakan oleh Ortman, menyatakan bahwa factor yang terakhir yang
mematahkan keseimbanganlah yang merupakan factor, atau menggunakan
istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang
menghilangkan keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative,
sehingga akhirnya syarat positiflah yang menentukan.
3. Teori yang mengeneralisir
Teori ini lahir sebagaiman “teori yang mengindividualisir” lahir, yakni
dalam rangka memperbaiki teori Von Buri yang dianggap terlalu luas
karena tidak membedakan antara syarat dengan sebab. Sehingga, harus
dipilih satu factor saja, yaitu yang menurut pengalaman manusia pada
umumnya dipandang sebagai sebab. Teori ini mengadakan batasan secara
umum yaitu secara abstak, jadi tidak terikat pada perkara yang tertentu
saja, dan karena itu juga mengambil pendirian pada saat sebelum
timbulnya akibat (ante- faktum).
Ada beberapa teori yang berbeda
yang termasuk dalam teori yang mengeneralisir ini. Adapun perbedaan ini
berpokok pangkal pada pengertian dari istilah “perhitungan yang normal”)
dalam hal penentuan syarat yang dapat diambil sebagai sebab (causa).
berikut ini adalah beberapa teori yang mengeneralisir :
a. Teori Adequate (keseimbangan)
Dikemukakan
oleh Von Kries. Dilihat dari artinya, jika dihubungkan dengan delik,
maka perbuatan harus memiliki keseimbangan dengan akibat yang sebelumnya
dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh
pembuat.
Teori ini disebut “teori generaliserend yang subjektif
adaequaat”, oleh karenanya Von Kries berpendapat bahwa yang menjadi
sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya
delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya
telah dapat diketahui oleh pembuat) .
b. Teori objective nachtraglicher prognose (teori keseimbangan yang objektif)
Teori
ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab
atau akibat, ialah factor objektif yang ditentukan dari rangkaian
faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik
terjadi.
Tolak ukur teori ini adalah menetapkan harus timbul suatu
akibat. Jadi, walau bagaimanpun akibat harus tetap terjadi dengan cara
mengingat keadaan-keadaan objektif setelah terjadinya delik, ini
merupakan tolak ukur logis yang dicapai melalui perhitungan yang normal.
c. Teori adequate menurut Traeger
Menurut
Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya
pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat
terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini bahwa yang dimaksud dengan
in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid
yang artinya, disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat
terjadi.
4. Teori Relevantie
Dikemukakan oleh Mezger. Menurut
teori ini dalam menentukan hubungan sebab akibat tidak mengadakan
pembedaan antara syarat dengan sebab, melainkan dimulai dengan
menafsirkan rumusan tindak pidana yang memuat akibat yang dilarang itu
dicoba menemukan perbuatan manakah kiranya yang dimaksud pada waktu
undang-undang itu dibuat. Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang
relevan itu berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam undang-undang.
5. Teori perdata
Teori
ini berdasarkan Pasal 1247 dan 1248 KUHP Perdata (BW),yang menyatakan
bahwa “pertanggungjawaban “ hanya ada, apabila akibat yang timbul itu
mempunyai akibat yang langsung dan rapat sekali dengan
perbuatan-perbuatan yang terdahulu atau dapat dibayangkan lebih dahulu.
Teori ini boleh dikatakan sama dengan teori adequate dari Von Kries.
Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa teori perdata ini dapat juga
dipergunakan dalam hukum pidana.
sumber: http://setia-ceritahati.blogspot.com/2009/05/teori-teori-kausalitas.html
follow me...@udin_potter
BalasHapusSalam kenal blogger..oya mampir donk di blog saya, gayatekno.blogspot.com
BalasHapusmungkin ada yang menarik buat anda