Laman

Tekad dan Komitmen adalah Kunci Mencapai Keberhasilan...

Rabu, 02 Mei 2012

Hukum Adat

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB.I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Definisi Adat
C. Definisi Perkawinan
D. Azas-Azas Perkawinan
E. Perkawinan Adat Jawa
BAB.II PERMASALAHAN
BAB.III PEMBAHASAN
BAB.IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang

Karangan ilmiah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir semester ganjil di Universitas Pamulang, serta untuk mengikuti tugas mata kuliah Hukum Adat. Tujuanya adalah mahasiswa mahasiswi mengetahui lebih dalam mengenai perkawinan Adat Jawa.

B. Definisi Adat
Adat adalah merupakan cerminan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa.
Oleh karena itu, maka tiap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena itu ketidak samaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa.
Didalam negara Republik Indonesia ini, adat yang memiliki oleh daerah-daerah dan suku-suku bangsa adalah berbeda, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu yaitu Indonesia. Oleh karena itu, maka adat bangsa Indonesia itu dikatakan merupakan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti walaupun berbeda-beda menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Pancasila.
Namun demikian walaupun disana-sini berbeda-beda, tetapi dikarenakan rumpunnya asalnya adalah bangsa melayu purba, maka walaupun berbeda-beda masih dapat ditarik persamaan dalam hal-hal yang pokok. Hampir disemua lingkungan masyarakat adat menempatkan masalah perkawinan sebagai urusan keluarga dan masyarakat, tidaklah perkawinan itu semata-mata urusan pribadi yang melakukan perkawinan itu saja.

C. Definisi Perkawinan
Perkawinan adalah salah suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut pria dan wanita bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah kedua belah pihak berserta seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi mempelai berdua, hingga mereka ini setelah menikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia sebagai suami istri sampai “kaken-kaken ninen-ninen” (istilah jawa yang berarti sampai sang suami menjadi kaki-kaki dan sang istri menjadi nini-nini yang bercucu-cicit).
Oleh karena perkawinan mempunyai arti yang sangt pentingnya,maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai-bagai upacara lengkap dengan “sesajen-sesajen nya”.
Ini semua barang kali dapat dinamakan takhyul, tetapi ternyata sampai sekarang hal-hal itu masih sangat meresap pada kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia dan oleh karenanya juga masih tetap dilakukan dimana-mana.

D. Azas-azas Perkawinan
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta mebina kahidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau ibu ataupun garis orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.
Jika dari suatu perkawinan tidak dapat keturunan, maka keluarga itu dianggap “putus keturunan”. Apabila dari seorang istri tidak dapat keturunanmaka para anggota kerabat dapat mendesak agar si suami mencari wanita lain atau mengangkat anak kemenakan dari anggota kerabat untuk menjadi penerus kehidupan keluarga bersangkutan.
Selanjunya sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh Undng-undang No. 1 tahun 1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai dibawah ini:
A. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
B. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
C. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagi istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
D. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat.
E. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua atau keluarga dan kerabat.
F. Percerian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara suami dan istri dapat berakibatkan pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.
G. Keseimbangan kedudukan anatara suami dan istri-istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumag tangga.
Dengan telah berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 diharapkan agar masyarakat adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undng-undang tersebut. Tetapi sejauh mana masyarakat akan dapat menyesuaikan dirinya tergantung dari pada perkembangan masyarakat adat itu sendiri, dan kesadaran hukumnya. Oleh karena apa yang menjadi jiwa dari perundang-undangan belum tentu sesuai dengan alam fikiran masyarakat. Misalnya saja undang-undang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera. Disini letak perbedaan antara rumah tangga modern dan rumah tangga adat, rumah tangga modern cenderung mementingkan kepentingan perseorangan dan kebendaan, sedangkan rumag tangga adat ingin mempertahankan kepentingan kekerabatan dan kerukunan.

E. Perkawinan Adat Jawa
Berbeda dari upacara-upacara perkawinan adat yang berlaku dilingkungan masyarakat adat diluar pulau Jawa, maka upacara perkawinan adat Jawa Tengah atau dikalangan masyarakat adat yang berasal dari Jawa Tengah, tidak begitu jauh berbeda dengan yang berlaku dilingkungan masyarakat adat Pasundan. Dipulau Sumatra antara masyarakat adat yang satu dan masyarakat adat yang lain terdapat perbedaan-perbedaan yang menyolok, walaupun masyarakat adat itu termasuk dalam satu lingkaran hukum adat (adtrechtskringen) sebagaimana pembagian lingkaran hukum adat menurut Van Vallenhoven. Misalnya saja upacara perkawinan adat bagi masyarakat adat “Pepadun” dan masyarakat “Peminggir” dalam lingkungan hukum adat Lampung saja sudah jauh berbeda. Dikalangan Peminggir tidak melakukan adat hibal serba dan turun duway.
Dikalangan masyarakat adat Jawa Tengah setelah pihak pria dan pihak wanita saling menyetujui dalam acara lamaran, dan pihak wanita telah menerima “panjer” atau “paningset” dari pihak pria, maka berlakulah masa pertunangan dan ditentukanlah hari baik untuk melangsungkan perkawinan. Dalam mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan tidak perlu meminta persetujuan para anggota kerabat, cukup diselesaikan dan dimusyawarahkan oleh orang tua dan anggota keluarga terdekat.
Dalam masa menanti hari perkawinan pihak keluarga pria akan mengantar calon mempelai pria ke tempat kediamancalon mempelai wanita untuk “nyantri”, untuk membantu pekerjaan-pekerjaan calon mertua yang berat-berat, misalnya nyangkol disawah, ngangon kerbau, dan lain-lain. Calon mempelai pria ini akan menetap diam di rumah keluarga pihak wanita yang ditunjuk itu yang disubut “pondokan temanten”. Dekat pada saat-saat untuk melaksanakan upacara perkawinan pihak keluarga pria telah menyampaikan pula “asok tukon” dan lain-lain.
Menjelang hari perkawinan di tempat mempelai wanita diadakan persiapan dan upacara selamatan pengakhiran masa “ngebleng”, masa menyepikan diri dikamar dan berpuasa beberapa hari sebagai “ilo-ilo” agar mendapat perlindungan dari para ghaib untuk maksud melakukan perkawinan. Biasanya hal ini dilakukan setelah pihak pria mengantar “jodangan”, yaitu usungan barang-barang berupa kotak yang berisi bahan makanan mentah termasuk bumbu-bumbu dan ternak diantar beramai-ramai.
Kemudian para “pinesepuh”, yaitu wanita-wanita yang telah berumur yang bertugas mengurus persiapan mempelai, melaksanakan acara memandikan mempelai wanita dengan air “kembang setaman”. Setelah itu barulah mempelai wanita dihias terutama bentuk rambut dan mukanya. pada malam harinya berlangsung acara malam “midodareni”, yaitu acara tirakatan sampai jauh malam yang dihadiri oleh para anggota keluarga dan tetangga, dan sifatnya berjaga-jaga sepanjang malam “pasian”.
Keesokan harinya setelah mempelai pria mandi dan berpakaian adat jawa yang diurus oleh pinesepuhnya, maka kedua mempelai ditemukan untuk dilakukan akad nikah jika beragama islam atau melaksanakan perkawinan menurut agama atau kepercayaan yang lain.
Kemudian upacara “temu” kedua mempelai dilanjutkan yang disebut “panggih temanten”, dimana kedua mempelai saling berhadapan memegang bingkisan sirih “jambe sinegar”, yaitu bingkisan sirih yang berisi buah pinang belahan, sebelah pada bingkisan pria dan sebelah pada bingkisan wanita. kedua mempelai disuruh saling melemparkan bingkisan sirih itu satu sama lain.
Setelah itu kedua mempelai berjalan melangkahi rintangan atau “pasangan”yang berupa pasangan kayu yang biasa dipakai untuk kerbau menarik bajak atau gerobak dan dipasang dimuka jalan masuk “pendopo” (serambi muka) untuk menuju “ndalem” (serambi tengah). Setelah melangkah mempelai pria menginjak telor sehingga kakinya kotor. Mempelai wanita terus berjongkok mempelai pria dengan air kembang setaman dari dalam “bokor” (tempat air) yang sudah disediakan.
Selanjutnya kedua menuju tempat duduk mempelai, jika mempelai wanita anak sulung, maka kedua mempelai digendong, yaitu dilingkari dengan selendang sampai mereka ditempat duduk. Sebelum duduk kedua mempelai saling bertukar “kembar mayang”yaitu batang pisang yang dihiasi “janur” daun kelapa muda dan bunga kelapa (mayang) dan ditempatkan disamping kanan kiri tempat duduk mempelai. Untuk memeriahkan upacara “panggih temanten”, maka jika upacara itu mengundang kesenian wayang kulit, gamelan dibunyikandengan irama “kebo giro”, yaitu irama khusus untuk tamunya temanten.
Adakalanya dilaksanakanjuga acara “menimbang temanten”, yang dilakukan oleh ayah mempelai wanita, dimana mempelai pria didudukan diatas pangkuan kaki kanan dan mempelai wanita diatas pangkuan kaki kiri. Pada acara ini ibu mempelai wanita akan bertanya mana yang lebih berat, maka walaupun salah satu lebih berat harus dijawab “sama berat” oleh yang menimbangnya.
Kemudian setelah itu kedua mempelai “nyungkemi” atau “ngabekti”, yaitu berlutut dan memberi salam pada para pinesepuh dan orang-orang tua untuk meminta do’a restu. Selanjutnya kedua mempelai untuk “dahar kembul”, yaitu makan bersama nasi kuning dengan “ingkung ayam”. Di beberapa daerah sering juga setelah selesai upacara kedua mempelai melakukan acara “kirab”, yaitu mengunjungi anggota keluarga tetangga “saeyubing blarak”, yang berkediaman sekampung.
Setelah masa “sepasaran” (lima hari) dari upacara perkawinan dimana tarub sudah dibongkar semua, maka pihak keluarga mempelai pria datang ditempat mempelai wanita untuk menjemput mereka agar ketempat pria beserta semua anggota keluarga mempelai wanita guna acara selamatan ditempat pria.
Dalam acara ini jika keluarga mempelai pria mampu dapat pula melaksanakan upacara sebagaimana yang telah berlaku di tempat wanita. Begitu pula setelah masa 35 hari dapat lagi diadakan upacara “selapanan” di tempat mempelai pria dalam benmtuk sederhana yaitu selamatan yang dihadiri anggota-anggota keluarga kedua belah pihak untuk lebih kenal mengenal antara satu sama yang lain.
Setelah selesai semua acara adat dilakukan, maka sesuai dengan hukum adat Jawa yang melaksanakan perkawinan mentas, kedua mempelai telah mulai mengatur kehidupan berumah tangga yang akan berdiri sendiri, dan jika perlu masih didasarkan pada petunjuk nasehat dan modal dari orang tua.
Masih banyak macam upacara-upacara perkawinan adat yang berlaku diberbagai daerah yang tidak mungkin untuk dimuat dalam uraian ini keseluruhannya. Namun dengan memberikan beberapa contoh gambaran sebagaimana dikemukakan diatas, dapatlah dijadikan bahan perbandingan dengan daerah-daerah lain dan akan merupakan bahan pokok guna melakukan penelitian lebih lanjut.
Apa yang dikemukakan di atas dalam kenyataannya di masa sekarang sudah banyak yang tidak dilaksanakan lagi, lebih-lebih bagi anggota masyarakat adat yang telah maju cenderung pada upacara-upacara sederhana dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tetapi tidaklah berarti bahwa tata cara dan upacara itu telah hapus sam sekali, oleh karena itu pada kenyataanya masih hidup dikalangan masyarakat adat di desa-desa atau juga kadang-kadang masih berlaku di kota-kota, hanya bentuk sifat dan pelaksanaannya sudah disederhanakan, menurut keadaan dan kemampuan yang bersangkutan.

BAB II
PERMASALAHAN

Di dalam bab ini penulis akan merumuskan masalah mengenai perkawinan adat Surakarta.
1. Pengertian perkawinan adat Surakarta.
2. Tujuan perkawinan adat Surakarta.
3. Tata cara atau urutan acara perkawinan adat Surakarta:
? Babat Alas,
? Nontoni,
? Ngelamar,
? Sasrahan,
? Luluran,
? Tarub,
? Siraman,
? Malam Midadareni,
? Ijab Kabul, dan
? Upacara temu atau panggih.

BAB III
PEMBAHASAN

Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan adat Surakarta sebenernya hampir sama dengan pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan pada umumya, yaitu perkawinan adalah salah satu pristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan prianya saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga mereka masing-masing, sedangkan tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk meresmikan suatu hubungan antara si pria dan wanita, untuk memperbannyak keturunan, sebagai ahli waris dari seluruh harta-hartanya dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan tata cara atau urutan –urutan acara pdrkawinan adat Surakarta adalah suatu tata cara perkawinan sebelum mereka melakukan Ijab kabul. Setelah itu penulis akan menjabarkan urutan-urutan acara perkawinan adat Yogyakara yaitu:
Babat alas atau babat dalam, artinya merambah hutan atau merintis jalan. Orang tua pemuda mengutus seorang Congkok untuk mengetahui apakah si gadis sudah ada yang punya atau belum. Istilah umumnya Nakokake artinya menanyakan.
Kalau si pemuda belum kenal si gadis, maka ucapan Nontoni. Si pemuda diajak keluarganya bertamu kepada keluarga si gadis. Agar si pemuda dapat mengenal sigadis pilihan orang tuanya.
Kemudian menyusul upacara nglamar atau meminang. Orang tua pihak pria menyerahkan sejumlah barang kepada pihak keluarga gadis sebagai peningset.banyak dan ujud peningset ini tidak ada ketentuannya, tergantung pada persetujuannya. Pada keadaan atau pada kemampuan pihak pria . lazimnya pakaian lengkap yang di dalam bahasa jawa di sebut sandangan sakpangandek.
Menjelang hari perkawinan diadakan upacara sasrahan atau asok tokun. Keluarga pihak pria memberikan sejumlah hadiah perkawinan kepada keluarga pihak wanita, berupa hasil bumi (beras, kelapa, dan sebagainya), alat-alat rumah tangga, ternak dan kadang-kadang pula sejumlah uang.
Kira kira 7 hari (dahulu 40 hari ) sebelum hari pernikahsn calon pengantin wanita biasanya di pingit, dilarang kelur rumah dan tidak boleh bertamu dengan calon suami nya .selama dalam pingitan itu si gadis membersihkan badannya yang di sebut lulur.
Di rumah gadis sudah tampak kesibukan. Antara lain membangun ruang tambahan atau tratag dan menghias rumah.kesibukan ini disebut tarub.
Kemudian ada upacara siraman. Yakni memandikan pengantin wanita dengan kembang telon yakni bunga tiga macam. Lazimnya di pakai bunga mawar, melati dan kenanga. Upacara ngerik, yaitu membersihkan bulu rambut yang tidak diinginkan misalnya yang terdapat di dahi,di kuduk atau di tengkuk dan di pipi,
Pada malam sebelum hari pernikahan calon pengantin pria dengan keluarga terdekat berkunjung ke rumah pengantin wanita.kemudian calon pengantin pria pulang.orang-orang dirumah calon pengantin wanita berjaga-jaga sampai jauh malam, bahkan ada sampai pagi. Malam ini di sebut malam midadareni.
Upacara ijab kabul atau akat nikah. Upacara ini disahkan oleh penghulu kantor agama setempat. Upacara ini adalah peresmian kedua orang pengantin itu sebagai suami istri yang sah.
Upacara atau panggih ;mempertemukan kemudian mempersandingkan kedua pengantin. dalam upacara ini terdapat antara lain.saling melempar sirih ; menginjaak kemudian memecah kan telur; pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria; kedua pengantin berdiri diatas pasangan kerbau atau lembu. Kedua mempelai di selendangi kain sindhur lalu menuju ke pelaminan; upacara kacar-kucur, yakni mencurahkan barang-barang ini kepada pengantin wanita; nimbang temanten, yakni kedua yakni kedua mempelai duduk di pangkuan ayah pengantin ; yang terahir iyalah yang disebut dahar kembul, yakni kedua mempelai itu saling menyuapi nasi kuning.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa upacara adat perkawinan didaerah istimewa Surakarta hampir sam dengan upacara adat di Jawa Tengah. Hanya ada beberapa perbedaan kecil, mungkin perbedaan itu terletak pada nama atau istilahnya saja. Apa yang telah dikemukakan di karya tulis ini sudah banyak yang tidak dilaksanakan lagi. Akan tetapi tidaklah berarti bahwa tata cara dan upacara itu telah hapus sama sekali melainkan hanya bentuk, sifat dan pelaiksanaannya yang sudah disederhanakan, menurut keadaan dan kemampuan yang bersangkutan
B. Saran-saran.
Untuk dapat mewujudkan rumah tangga dan kekerabatan yang baik di dalam hidup bermasyarakat, memerlukan pengekangan hawa nafsu kebendaan yang tidak pernah tua. Untuk itu rumag tangga dari suatu perkawinan harus dijauhkan dari kerusakan akhlak dan kebendaan dan didekatkan pada kerukunan hidup ketetanggaan dan kekerabatan

DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma. Hilman, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadatnya dan Upacara Adatnya, Penerbit P. T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Muhammad. Bushar, Azas-Azas Hukum Adat Suatu Pengantar, Penerbit P. T. Pradnya Paramita, Jakarta, 2002.
Djamadil, Kebudayaan Indonesia, Penerbit P.T. Karya Okta Dynamic, Jakarta, 1976.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 1991.
Terhaar, poesponnoto. Soebekti, Azas-Azas Dan Susunan Hukum Adat, Penerbit P. T. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.
Sudiyat, Iman. Azas-Azas Hukum Adat Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982.
Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Penerbit Alumni, Bandung, 1973.
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/perkawinan-adat-jawa-tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar